Judul : Interstellar
Sutradara : Christopher Nolan
Tahun Rilis : 2014
Genre : Fiksi Ilmiah,
Drama
Durasi : 169 menit
Kemarin saya
kembali menonton Interstellar. Awalnya, saya mengira film ini hanya akan
menjadi tontonan nostalgia—film lama yang dulu sempat ramai dibicarakan. Namun
dugaan itu keliru. Alih-alih terasa usang, Interstellar justru kembali
menghadirkan rasa takjub, tegang, dan emosional yang sama, bahkan lebih kuat
dari sebelumnya.
Menonton ulang
film ini membuat saya sadar bahwa Interstellar bukan sekadar film
tentang luar angkasa. Ia adalah cerita tentang manusia yang berhadapan dengan
sesuatu yang tidak bisa mereka kendalikan: waktu dan perasaan. Christopher
Nolan tidak menawarkan petualangan kosmik yang kosong, melainkan mengajak
penonton menyelami dilema paling dasar manusia—memilih antara tanggung jawab
besar dan ikatan personal.
Waktu sebagai
Musuh yang Tak Terlihat
Salah satu hal
yang paling membekas saat saya menonton kembali Interstellar adalah
bagaimana film ini memperlakukan waktu. Waktu tidak pernah muncul sebagai sosok
atau benda, tetapi dampaknya terasa paling menyakitkan. Dalam misi
menyelamatkan umat manusia, Cooper harus menerima kenyataan bahwa setiap
langkahnya di luar angkasa berarti waktu yang hilang di Bumi.
Adegan di
planet Miller menjadi contoh paling jelas. Hanya dalam hitungan jam bagi
Cooper, puluhan tahun telah berlalu bagi anak-anaknya. Saat saya menonton
bagian ini kembali, rasanya sulit untuk tidak ikut sesak. Waktu bergerak tanpa
menunggu siapa pun, dan keputusan yang tampak benar di satu sisi justru
menghancurkan sisi lain.
Di sinilah Interstellar
terasa sangat dekat dengan kehidupan nyata. Kita mungkin tidak bepergian ke luar
angkasa, tetapi sering kali kita juga kehilangan waktu bersama orang-orang
terdekat karena tuntutan hidup, pekerjaan, atau ambisi. Film ini seperti
mengingatkan bahwa waktu adalah musuh yang tidak terlihat—ia tidak menyerang
secara langsung, tetapi perlahan menggerus apa yang paling kita sayangi.
Cinta sebagai
Dimensi Kelima
Di tengah
narasi ilmiah yang kompleks, Interstellar menghadirkan gagasan yang
terdengar sederhana namun berani: cinta. Bagi saya, inilah bagian yang membuat
film ini tetap hidup hingga sekarang. Nolan seolah ingin mengatakan bahwa di
balik segala rumus, data, dan teori, manusia tetap digerakkan oleh perasaan.
Hubungan Cooper
dan Murph menjadi pusat dari seluruh cerita, tentang kasih sayang ayah dan anak
perempuannya. Meski terpisah oleh ruang dan
waktu, ikatan keduanya tidak pernah benar-benar putus. Cinta tidak dijelaskan
sebagai sesuatu yang logis, tetapi justru menjadi jembatan yang menghubungkan
masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Gagasan cinta
sebagai “dimensi kelima” mungkin terdengar tidak ilmiah, namun justru di
situlah kekuatannya. Film ini tidak memaksa penonton untuk menerima konsep
tersebut secara rasional, melainkan secara emosional. Saat menontonnya kembali,
saya merasa bahwa Interstellar ingin menyampaikan satu hal: ada hal-hal
dalam hidup yang tidak bisa diukur, tetapi sangat menentukan arah manusia.
Selain cerita dan gagasannya, Interstellar juga kuat dari sisi visual dan musik. Meski telah dirilis lebih dari satu dekade lalu, tampilan luar angkasa, planet asing, dan lubang hitam masih terasa megah dan tidak ketinggalan zaman. Visual dalam film ini tidak sekadar indah, tetapi juga membantu penonton merasakan betapa kecilnya manusia di tengah luasnya semesta.
Musik gubahan
Hans Zimmer menjadi elemen penting yang memperkuat emosi. Dentingan nada yang
berulang, irama yang perlahan meningkat, dan kesunyian yang kadang dibiarkan
panjang membuat setiap adegan terasa lebih dalam. Musik dalam Interstellar
tidak hanya mengiringi cerita, tetapi seperti berbicara langsung kepada
perasaan penonton.
Akting para
pemain, terutama Matthew McConaughey sebagai Cooper, juga menjadi pendukung
utama kekuatan film ini. Emosi yang ditampilkan terasa jujur dan manusiawi,
membuat konflik besar tentang masa depan umat manusia tetap terasa personal dan
dekat.
Menonton Interstellar
kembali membuat saya memahami bahwa film ini bukan hanya tentang pergi sejauh
mungkin ke luar angkasa, tetapi tentang kembali ke hal-hal paling dasar dalam
hidup: waktu, cinta, dan pilihan. Ia adalah film lama yang tetap seru, relevan,
dan layak ditonton ulang—bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk
direnungkan.
Resensator: Ahmad Andika Prasetya

2 Komentar
Setiap membaca berita dari LPM Analisa terkhusus dari Andika, sangat menyentuh sekali :)
BalasHapusSetiap membaca berita dari LPM Analisa terkhusus dari Andika, sangat menyentuh sekali :)
BalasHapus