Interstellar: Ketika Sains, Waktu, dan Cinta Bertabrakan

Sumber foto: https://id.pinterest.com/pin/42221315254910326/

Judul              : Interstellar
Sutradara       : Christopher Nolan
Tahun Rilis    : 2014
Genre             : Fiksi Ilmiah, Drama
Durasi             : 169 menit

 

Kemarin saya kembali menonton Interstellar. Awalnya, saya mengira film ini hanya akan menjadi tontonan nostalgia—film lama yang dulu sempat ramai dibicarakan. Namun dugaan itu keliru. Alih-alih terasa usang, Interstellar justru kembali menghadirkan rasa takjub, tegang, dan emosional yang sama, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.

 

Menonton ulang film ini membuat saya sadar bahwa Interstellar bukan sekadar film tentang luar angkasa. Ia adalah cerita tentang manusia yang berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa mereka kendalikan: waktu dan perasaan. Christopher Nolan tidak menawarkan petualangan kosmik yang kosong, melainkan mengajak penonton menyelami dilema paling dasar manusia—memilih antara tanggung jawab besar dan ikatan personal.

 

Waktu sebagai Musuh yang Tak Terlihat

Salah satu hal yang paling membekas saat saya menonton kembali Interstellar adalah bagaimana film ini memperlakukan waktu. Waktu tidak pernah muncul sebagai sosok atau benda, tetapi dampaknya terasa paling menyakitkan. Dalam misi menyelamatkan umat manusia, Cooper harus menerima kenyataan bahwa setiap langkahnya di luar angkasa berarti waktu yang hilang di Bumi.

 

Adegan di planet Miller menjadi contoh paling jelas. Hanya dalam hitungan jam bagi Cooper, puluhan tahun telah berlalu bagi anak-anaknya. Saat saya menonton bagian ini kembali, rasanya sulit untuk tidak ikut sesak. Waktu bergerak tanpa menunggu siapa pun, dan keputusan yang tampak benar di satu sisi justru menghancurkan sisi lain.

 

Di sinilah Interstellar terasa sangat dekat dengan kehidupan nyata. Kita mungkin tidak bepergian ke luar angkasa, tetapi sering kali kita juga kehilangan waktu bersama orang-orang terdekat karena tuntutan hidup, pekerjaan, atau ambisi. Film ini seperti mengingatkan bahwa waktu adalah musuh yang tidak terlihat—ia tidak menyerang secara langsung, tetapi perlahan menggerus apa yang paling kita sayangi.

 

Cinta sebagai Dimensi Kelima

Di tengah narasi ilmiah yang kompleks, Interstellar menghadirkan gagasan yang terdengar sederhana namun berani: cinta. Bagi saya, inilah bagian yang membuat film ini tetap hidup hingga sekarang. Nolan seolah ingin mengatakan bahwa di balik segala rumus, data, dan teori, manusia tetap digerakkan oleh perasaan.

 

Hubungan Cooper dan Murph menjadi pusat dari seluruh cerita, tentang kasih sayang ayah dan anak perempuannya. Meski terpisah oleh ruang dan waktu, ikatan keduanya tidak pernah benar-benar putus. Cinta tidak dijelaskan sebagai sesuatu yang logis, tetapi justru menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

 

Gagasan cinta sebagai “dimensi kelima” mungkin terdengar tidak ilmiah, namun justru di situlah kekuatannya. Film ini tidak memaksa penonton untuk menerima konsep tersebut secara rasional, melainkan secara emosional. Saat menontonnya kembali, saya merasa bahwa Interstellar ingin menyampaikan satu hal: ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa diukur, tetapi sangat menentukan arah manusia.


Selain cerita dan gagasannya, Interstellar juga kuat dari sisi visual dan musik. Meski telah dirilis lebih dari satu dekade lalu, tampilan luar angkasa, planet asing, dan lubang hitam masih terasa megah dan tidak ketinggalan zaman. Visual dalam film ini tidak sekadar indah, tetapi juga membantu penonton merasakan betapa kecilnya manusia di tengah luasnya semesta.

 

Musik gubahan Hans Zimmer menjadi elemen penting yang memperkuat emosi. Dentingan nada yang berulang, irama yang perlahan meningkat, dan kesunyian yang kadang dibiarkan panjang membuat setiap adegan terasa lebih dalam. Musik dalam Interstellar tidak hanya mengiringi cerita, tetapi seperti berbicara langsung kepada perasaan penonton.

 

Akting para pemain, terutama Matthew McConaughey sebagai Cooper, juga menjadi pendukung utama kekuatan film ini. Emosi yang ditampilkan terasa jujur dan manusiawi, membuat konflik besar tentang masa depan umat manusia tetap terasa personal dan dekat.

 

Menonton Interstellar kembali membuat saya memahami bahwa film ini bukan hanya tentang pergi sejauh mungkin ke luar angkasa, tetapi tentang kembali ke hal-hal paling dasar dalam hidup: waktu, cinta, dan pilihan. Ia adalah film lama yang tetap seru, relevan, dan layak ditonton ulang—bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk direnungkan.


Resensator: Ahmad Andika Prasetya

 

 

2 Komentar

  1. Setiap membaca berita dari LPM Analisa terkhusus dari Andika, sangat menyentuh sekali :)

    BalasHapus
  2. Setiap membaca berita dari LPM Analisa terkhusus dari Andika, sangat menyentuh sekali :)

    BalasHapus