Cerpen: Nasionalisme

 



NASIONALISME

Yusuf Abdullah bocah laki-laki yang berumur 10 tahun hidup dalam keluarga pas-pasan. Dia menpunyai kepribadian yang sangat mandiri. Sejak tahun 1854 Yusuf sudah bisa mendapatkan uang sendiri dari hasil lukisan-lukisan tangannya yang sangat bagus dan kreatif. Dari lukisan-lukisan yang dibuat, Yusuf sering mendapat undangan-undangan dari berbagai negara untuk melukiskan karya yang lebih bagus lagi, terutama di negara Jepang. Tapi Yusuf menolak undangan-undangan itu, karena dulu ayahnya juga mendapat undangan yang sama seperti Yusuf di negara Jepang.

Dari Indonesia ayahnya dan teman-teman ayahnya juga melukis sampai terbang ke Jepang, dan selama lima tahun Yusuf sertas ibunya tidak mendapat kabar dari sang ayah. Hingga suatu sore ada seorang laki-laki yang mengaku sebagai temannya pak Abdul ayahnya Yusuf, dia memberi kabar yang sangat menyesakkan dada, kabar yang mengejutkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia bersama cita-citanya menyebarkan lukisan-lukisan Hubbul Wathon Minal Iman  di negara orang, dan yang paling membahagiakan Yusuf dan ibunya adalah bahwa sang ayah juga menyebarkan agama islam di Jepang.

Seperti halnya sang ayah, Yusuf juga menjual lukisan-lukisan yang sama Hubbul Wathon Minal Iman. Setiap ada orang asing yang datang untuk memesan lukisan Yusuf, orang itu akan bertanya.

“Mengapa kamu memakai penutup kepala?” tanya orang asing itu yang heran melihat
penutup kepala yang menghiasi kepala Yusuf.

Yusuf hanya tersenyum menanggapi pertanyaan orang asing itu, dia menjelaskan kenapa memakai penutup kepala.

“ Memakai peci seperti itu apakah bisa menyelamatkan kamu dari berbagai bahaya?”

“ Insyaallah jika Allah mengkehendaki”

“ Apakah kamu orang islam yang taat beragama?”

“Saya hanya orang biasa, yang melakukan perintah sang maha kuasa dan meninggalkan larangannya, jika anda ingin tahu lebih lengkap tentang agama islam datangilah H.Adam, beliau akan menjelaskan lebih lanjut tentang agama islam”

Orang asing itu hanya menganggukkan kepala, merasa sudah terlalu lama berbincang-bincang, orang asing itu pamit pulang dan akan kembali tiga hari lagi untuk mengambil pesanan lukisannya, Yusuf menatap kepergian orang asing itu hingga punggungnya tak terlihat lagi.

“ Semoga Allah memberinya hidayah” ucap Yusuf mendo`akan orang yang baru di kenalnya beberapa menit yang lalu.

Matahari telah tenggelam di ufuk barat, Yusuf dan ibunya menjalankan shalat berjamaah di rumah, selesai sholat berjamaah mereka berdua makan malam bersama dan berbincang-bincang.

“ Ibu,,, jika Yusuf meninggal, Yusuf ingin seperti ayah,, yang meninggal membela negara dan memperjuangkannya walau nyawa yang jadi taruhannya,” ujar Yusuf.

“ Hati-hatilah jika berbicara nak, Allah SWT maha mendengar apapun yang dibicarakan hamba-hambanya”

“ Ibu,, sebentar lagi Yusuf akan pergi untuk membela negara Indonesia, Yusuf akan memperjuangkan negara ini agar tidak di jajah lagi walau nyawa Yusuf taruhannya, Yusuf akan berjuang sampai titik darah penghabisan, dan Yusuf meminta izin kepada ibu agar Yusuf tidak jadi anak yang durhaka, jika Yusuf gugur dalam peperangan Yusuf sudah mendapat ridho dari ibu”

“ Ibu akan meridhoimu anakku, tapi apakah kamu tega melihat ibumu ini yang semakin hari semakin tua dan hidup sendirian? apakah kamu tidak ingin memberi ibu seorang menantu dan cucu anakku?, ” air mata ibu Fatimah mengalir membasahi kedua pipinya.

Yusuf bangkit dari tempat duduknya di pelukknya sang ibunda yang amat dihormati, dia tidak tega melihat air mata ibunya  jatuh begitu saja.

“ Maafkan Yusuf ibu,”

“ Yusuf sekarang umurmu sudah dua puluh tahun, apakah kamu tidak ingin menikah?,” tanya ibu.

Yusuf melepas pelukannya, ditatapnya kedua mata sang ibunda yang amat di hormatinya itu, pertanyaan ibunya sangat membuat hati Yusuf tampak sedih, dia tidak tahu harus berkata apa pada ibunya, dia tidak mungkin berbohong kalau dia mempunyai kekasih.

“ Jika ibu ingin Yusuf menikah Yusuf akan menikah bu,, tapi masalahnya Yusuf,,,”

“ Sebenarnya waktu kamu membeli bahan-bahan lukisanmu yang telah habis H. Adam dan istrinya datang kemari untuk melamarkan putrinya untukkmu, tapi ibu tidak berani memberi tahu kamu, ibu takut pesanan lukisanmu tidak jadi gara-gara memikirkannya”

“ Jika ibu meridhoi Yusuf untuk menikah dengan putrinya H. Adam Yusuf akan melaksanakannya dengan senang hati dan kalau itu bisa membuat ibu bahagia Yusuf akan melakukannya,” Yusuf mengusap air mata ibunya dengan punggung tanganya.

“ Ibu merestui dan meridhoimu nak...jika kamu bahagia ibu akan bahagia”

“Kalau begitu nanti setelah isya’ kita pergi ke rumahnya H. Adam”

Fatimah menatap anaknya tak percaya, dia tahu Yusuf tidak pernah mengenal perempuan, tidak pernah merasakan apa artinya cinta, tapi sekarang........

“Ibu...kenapa ibu bengong.....?,” Yusuf mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah sang ibunya.

Selepas sholat isya’ yusuf dan ibunya pergi kerumah H. Adam. Fatimah yang sedari tadi memperhatikan wajah anaknya, dia menangkap ada rasa gugup yang terlintas begitu jelas di wajah yusuf.

Yusuf dan ibunya telah berdiri di depan pintu rumah H. Adam. Yusuf menoleh ke arah ibunya, dia melihat ibunya tersenyum ke arahnya dan mengangguk. Yusuf memencet bel rumah, dari dalam rumah terdengar derap langkah kaki yang mendekat untuk membukakan pintu rumah. Pintu telah terbuka, di depan Yusuf berdirilah istrinya H. Adam yang tersenyum ke arah mereka berdua.

“ Silahkan masuk,,” Hj. Zulhah mempersilahkan Yusuf dan ibunya masuk

“ Abah,, lihat siapa yang datang,,” kata Hj. Zulhah setengah berteriak

Dari dalam kamar H. Adam berjalan menghampiri mereka bertiga di ruang tamu, H. Adam tersenyum ke arah Yusuf dan ibunya, kemudian mereka duduk disamping istri Hj. Zulhah.

“ Begini pak maksud kedatangan saya kesini adalah untuk melamar putri bapak,” kata Yusuf dengan percaya diri, tidak seperti tadi yang ada keraguan di wajahnya yang terlihat begitu jelas, ibunya saja heran melihat kesungguhan diwajah putranya itu.

“ Subhanallah,,” kata H.Adam

“ Ibu panggilkan Aisyah, dia harus melihat calon suaminya” kata H. Adam pada istrinya.

Hj. Zulhah berdiri dan berjalan menuju kamar putrinya, tak selang berapa lam Hj. Zulhah keluar dengan Aisyah, Yusuf memperhatikan wajah Aisyah dengan teliti, di depannya sekarang telah berdiri bidadari turun dari langit yang dikirim untuk dirinya, Yusuf terbangun dari lamunanya saat ibunya memegang tangannya.

Setelah berbincang-bincang agak lama Yusuf dan ibunya pamit untuk pulang, mereka telah merencanakan acara pernikahannya akan dilaksanakan dua hari lagi.

#

Acara pesta pernikahannya berjalan dengan lancar, semua tamu undangan tersenyum melihat Yusuf pemuda yang pintar melukis itu telah menikah dengan putrinya H. Adam.

Semua tamu undangan telah pulang kerumah masing-masing. Yusuf dan Zulhah masuk kedalam kamar, Yusuf duduk ditempat dimana dia membuat lukisan, dia melihat tanggalan yang ada di depannya, matanya seketika membundar melihat tanggal yang di lingkarinya sendiri, besok adalah hari dimana dia hidup atau mati. Yusuf menghampiri istrinya.

“Maafkan suamimu ini istriku.......”

“Kenapa mas minta maaf, mas tidak salah apa-apa,” Aisyah memegang kedua tangan suaminya yang bergetar.

“Besok adalah hari dimana hidup mas antara hidup dan mati”

Aisyah menyadari kemana arah pembicaraan suaminya, dia tahu besok adalah perang Indonesia melawan Jepang. Aisyah sedih mengetahui suaminya akan ikut berperang, mereka baru saja menikah.

“ Apakah mas harus ikut?,“ tanya Aisyah dengan linangan air mata yang telah membasahi kedua pipinya.

“ Mas memang harus ikut Aisyah... mas harus membalas kematian ayah mas, mas  juga harus mempertahankan negara Indonesia agar tidak jatuh di tangan jepang, mas juga sudah bersumpah darah hanya untuk negara indonesia, jika nanti mas kalah di dalam peperangan mas minta ridhomu Aisyah.”

Aisyah tidak bisa menahan air matanya, dia memeluk erat suaminya, dia tidak mau berpisah dengan suaminya. Yusuf membalas pelukannya dengan erat, dia juga berat hati meninggalkan Aisyah, dia tidak tahu jika dia gugur dalam perang nanti bagaimana nasib Aisyah dengan ibunya. Keesokan harinya....

Yusuf telah di jemput dua orang yang juga ikut serta dalam peperangan. Yusuf mencium ibunya dan memeluk istrinya, dia menatap kedua perempuan yang berdiri di hadapannya, dia ingin mengingat keduanya di saat-saat terakhir seperti ini.

Yusuf berjalan meninggalkan kedua perempuan yang amat di cintainya itu, dia tidak tahu apakah dia akan selamat atau tidak, sekarang yang dia lakukan hanyalah berpasrah diri kepada sang maha kuasa. Kalaupun dia tidak selamat dia telah berada di jalan yang benar, membela negaranya, tanah airnya dan kampung halamannya.

Air mata Yusuf mengalir deras di kedua pipinya yang putih, bersih. Dalam hati dia berdo’a semoga sang kuasa menyalamatkan dirinya dan bisa bertemu dengan ibu dan istrinya.

#

Suara ledakan bersahut-sahutan, senjata Jepang tidak ada bandingannya dengan senjata Indonesia yang hanya mengandalkan bambu runcing.

Air merah membasahi jalanan yang tak terlihat aspalnya lagi, tubuh manusia tergeletak di mana-mana. Yusuf berjalan tertatih-tatih sambil memegangi lengan kananya yang terus mengeluarkan darah, Yusuf mengerang kesakitan, badannya tak sanggup lagi berjalan, sekilas dia melihat bayangan ayahnya yang tersenyum ke arahnya, Yusuf membalas senyum sang ayah. Pandangan matanya sudah kabur. Akhirnya Yusuf terjatuh menimpa orang-orang yang tergeletak di mana-mana. Kedua mata Yusuf telah terpejam dan bibirnya telah terkatup.

Perang telah usai, tubuh Yusuf telah di angkat dan di rawat di rumah sakit terdekat. Luka Yusuf sangat parah, di lengan kanannya ada dua tembakan, di sebelah kiri perutnya ada satu tembakan dan di kepala Yusuf, tapi untung tidak terlalu dalam dan tidak mengenai otak.

Berita selamatnya Yusuf telah tersebar ke kampung halamannya, ibu dan istrinya telah berada di dekatnya, menemaninya di saat-saat kritis. Saat membuka kedua matanya, dia melihat orang yang amat di cintainya tersenyum dan menangis di depannya.

“Syukurlah, mas sudah sadar.....,” Aisyah memegang tangan suaminya dengan tangan yang bergetar. Yusuf hanya tersenyum kepada sang istri, dia menoleh ke arah ibunya lalu tersenyum.

“ Ibu akan memberimu kabar gembira nak, Istrimu sedang mengandung anakmu, dan yang kedua adalah, orang asing yang dulu memesan lukisan kepadamu telah menjadi orang mukmin, saat datang ke rumah dia menanyakanmu, dan ingin berterimakasih kepadamu”

“ Ibu... apakah ibu meridhoiku?,” pertanyaan Yusuf sangat menyentuh sang ibunda.

“ Ya Allah... apakah ini pertanda,” ucap ibu Fatimah dalam hati.

“ Ibu... apakah ibu meridhoiku?” Yusuf mengulangi pertanyaannya

“ Iya anakku, ibu meridhoimu...” jawab ibu Fatimah dengan air mata yang mulai keluar

Yusuf tersenyum mendengar jawaban ibunya, lalu dia menoleh kepada istrinya dan menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang dia tanyakan kepada sang ibunda.

“ Istriku.. apakah kamu meridhoi suamimu ini?”

Aisyah menangis, dia menganggukkan kepala dan tersenyum dengan senyuman yang di paksakan.

“Kau adalah suami yang baik untukku, aku akan meridhoimu suamiku,” Aisyah memegang erat tangan Yusuf yang masih lemah.

Yusuf tersenyum kearah istri dan ibunya, perlahan-lahan kedua matanya tertutup, tangannya yang memegang tangan Aisyah telah terlepas, hembusan nafasnya sudah tidak ada lagi dia telah menyusul sang ayah dan pulang kerumah yang telah menciptakan dirinya, Allah SWT sudah merindukan dirinya.

“Innalillahi wainnailaihi roji’un,” Ucap bu Fatimah menangis. Anaknya telah tiada dia telah menyelesaikan misinya, membela negaranya dengan mempertaruhkan nyawanya.

Ibu Fatimah memeluk Aisyah yang menangis didekat suaminya, sekarang hanya tinggal dirinya dan Aisyah yang sedang mengandung anaknya Yusuf.

“Berdo’alah nak, agar arwah suamimu tenang dialam sana,” bu Fatimah mengusap-usap punggung Aisyah.

“Allah SWT sudah merencanakan semua ini, dan inilah yang terbaik untuk Yusuf, dia telah menyelesaikan misinya, membela negaranya,” lanjut bu Fatimah.

“Ya Allah.....terimalah arwah suamiku di sisi-Mu, dia adalah suami yang baik,” do’a Aisyah

“Amiiiin”

*Ida Siregar

0 Komentar