Hak Beragama VS Rasa Ingin Tahu Publik: Menjaga Batas yang Hilang

 


Di era digital, kehidupan pribadi seseorang seolah menjadi konsumsi publik. Fenomena ini terasa lebih nyata ketika seseorang memutuskan untuk pindah agama. Keputusan yang seharusnya bersifat pribadi dan spiritual sering kali berubah menjadi bahan perbincangan publik, terutama di media sosial. Banyak orang merasa berhak menilai, memberi komentar, atau bahkan menghakimi, seolah-olah keyakinan orang lain adalah urusan bersama. Padahal, rasa ingin tahu yang berlebihan bisa menimbulkan tekanan sosial dan psikologis yang serius bagi individu yang bersangkutan.


Kita ketahui hak untuk memilih dan menjalankan agama atau kepercayaan adalah hak fundamental yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28E ayat (1), yang menyebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurutkeyakinannya. Lebih rinci, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kebebasan beragama sebagai salah satu hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian, keputusan seseorang untuk pindah agama bukan sekadar pilihan pribadi, tetapi juga hak hukum yang harus dihormati.


Sayangnya, kenyataan sering kali berbeda. Banyak masyarakat merasa memiliki "hak moral" untuk mengetahui atau menilai pilihan spiritual orang lain. Media sosial menjadi medan luas bagi opini publik yang bersifat invasif. Komentar-komentar seperti "kok bisa pindah agama?", "kenapa meninggalkan agama lama?", atau hinaan bernada merendahkan yang bukan hanya melanggar etika, tetapi juga bisa menimbulkan dampak psikologis serius. Individu yang berpindah agama sering menghadapi tekanan emosional, diskriminasi, dan dalam beberapa kasusisolasi sosial.


Contoh nyata-nya yaitu publik sempat dihebohkan oleh kabar seorang artis muda yang memutuskan untuk berpindah agama. Melalui unggahan di media sosialnya, ia menjelaskan bahwa keputusan tersebut lahir dari proses pencarian keyakinan pribadi dan bukan karena pengaruh siapa pun. Namun, alih-alih mendapat dukungan, kolom komentarnya justru dipenuhi berbagai tanggapan-mulai dari yang memberi semangat hingga yang menghakimi dan menuduh tanpa dasar.


Sebagian warganet menilai keputusannya "menyimpang" atau "mengecewakan penggemar," seolah kehidupan beragama seorang publik figur adalah konsumsi publik. Tak jarang, muncul pula komentar sarkastik dan ujaran kebencian yang menyinggung keimanannya. Situasi ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara hak individu dan rasa ingin tahu masyarakat. Privasi beragama seharusnya dijaga sebagai bagian dari hak asasi manusia. Tidak ada hukum yang mewajibkan seseorang untuk menjelaskan perjalanan spiritualnya kepada publik, apalagi menghadapi pertanyaan atau kritik yang bernada menghakimi. Selain itu, praktik ikut campur terhadap pilihan agama orang lain dapat memperburuk hubungan sosial dan memperkuat stereotip negatif. Dalam masyarakat majemuk, kebebasan beragama bukan sekadar prinsip ideal, tetapi fondasi bagi hidup bersama yang harmonis. Menghormati keputusan individu untuk pindah agama berarti menghormati prinsip kebebasan, toleransi, dan hak asasi manusia secara keseluruhan.


Meski media sosial menjadi alat komunikasi dan penyebaran informasi, sering kali justru memperbesar rasa ingin tahu publik. Sebuah unggahan mengenai pindah agama bisa menjadi viral dalam hitungan jam, memunculkan komentar dan debat yang tidak diundang. Oleh karena itu, masyarakat perlu belajar menahan diri, memahami batasan, dan tidak menilai perjalanan spiritual orang lain sebagai konsumsi publik.


Negara, melalui regulasi dan penegakan hukum, juga memiliki peran penting. Kebebasan beragama yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tidak hanya memberi hak kepada individu, tetapi juga menuntut perlindungan dari gangguan sosial. Pemerintah dapat melakukan edukasi publik melalui kampanye toleransi, sosialisasi hak asasi, dan penerapan sanksi terhadap diskriminasi berbasis keyakinan. Dengan langkah-langkah ini, hak beragama tidak hanya menjadi teks hukum, tetapi praktik nyata yang dirasakan oleh setiap warga negara.


Penting untuk diingat, menghormati hak beragama orang lain tidak berarti mengabaikan kritik atau diskusi. Namun, kritik harus dilakukan secara etis, rasional, dan tidak menyerang hak individu. Diskusi mengenai agama seharusnya bersifat informatif dan reflektif, bukan menyerang kehidupan pribadi seseorang.


Sebagai masyarakat, kita perlu menyadari bahwa perjalanan spiritual adalah bagian dari identitas seseorang yang paling personal. Pindah agama bukan aib, dan tidak ada kewajiban moral atau sosial bagi seseorang untuk menjelaskannya kepada publik. Justru dengan menghormati hak ini, kita membangun masyarakat yang lebih toleran, adil, dan menghargai perbedaan.


Menjaga batas antara hak beragama dan rasa ingin tahu publik bukan sekadar soal etika, tetapi juga soal menghormati hukum dan hak asasi manusia. Negara telah memberikan perlindungan, dan masyarakat perlu berperan aktif untuk menegakkan prinsip ini. Kesadaran kolektif dan pendidikan publik tentang kebebasan beragama adalah langkah penting agar masyarakat memahami bahwa hak individu tidak boleh dijadikan bahan konsumsi publik. Hanya dengan begitu, individu dapat menjalani perjalanan spiritualnya dengan tenang, tanpa takut dihakimi atau dijadikan konsumsi publik, sekaligus memperkuat harmoni sosial dalam kehidupan yang beragam.


Penulis: Apri Aldi Sianturi, Mahasiswa aktif prodi Ilmu Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

0 Komentar