Fenomena Glow Up: Saat Kecantikan Menjadi Tekanan Sosial dan Tanggungjawab Negara

 


Fenomena "Glow Up" tengah menjadi topik hangat di kalangan masyarakat, terutama di media sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, istilah ini menjelma menjadi salah satu tren paling populer, mulai dari video transformasi wajah di TikTok, rutinitas perawatan kulit, hingga promosi produk kecantikan. Semua berlomba-lomba menampilkan versi diri yang dianggap "lebih baik", baik dari segi penampilan maupun kepribadian. Namun, di sisi lain, tren ini juga memunculkan tekanan sosial: rasa tidak percaya diri, takut terlihat kurang menarik, hingga kekhawatiran akan penilaian publik, terutama di kalangan muda.

 

Lebih dari sekadar perubahan gaya hidup, fenomena glow up telah berkembang menjadi isu sosial yang kompleks. Di tengah gempuran budaya visual, kecantikan kini seolah menjadi tolak ukur utama nilai diri seseorang. Semakin "bersinar" wajah seseorang di layar ponsel, semakin besar pula apresiasi dan validasi sosial yang diterimanya. Sayangnya, standar kecantikan yang dibangun di ruang digital sering kali tidak realistis dan tidak inklusif. Banyak orang terutama remaja terjebak dalam perlombaan untuk memenuhi standar yang nyaris mustahil, yang akhirnya menimbulkan tekanan psikologis, rasa rendah diri, hingga gangguan kesehatan mental.

 

Dalam konteks ini, peran pemerintah menjadi sangat penting. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak warganya, termasuk dalam hal perlindungan konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara tegas menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan. Namun, praktik di lapangan sering kali jauh dari ideal. Masih banyak produk kecantikan yang menawarkan hasil instan tanpa penjelasan mengenai risiko dan keamanan. Iklan seperti "putih dalam tiga hari" atau "langsung glowing" beredar luas, bahkan kerap dipromosikan oleh figur publik atau influencer tanpa pengawasan memadai.

 

Kelemahan pengawasan terhadap industri kecantikan digital juga memperparah masalah. Klinik ilegal dan produk tanpa izin edar semakin marak, menjebak masyarakat dalam ilusi kecantikan instan. Padahal, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mewajibkan setiap produk kosmetik dan layanan kecantikan memenuhi standar keamanan dan memiliki izin edar dari BPOM. Kasus infeksi kulit, perawatan gagal, atau bahan berbahaya dalam kosmetik bukan lagi hal langka. Fenomena ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum benar-benar mampu menjangkau dinamika pemasaran digital yang begitu cepat dan masif. Di sinilah seharusnya negara hadir-bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung warga dari praktik komersial yang merugikan.

 

Beberapa kasus nyata menyoroti permasalahan ini. Beberapa influencer pernah mempromosikan serum dan krim wajah ilegal yang menimbulkan reaksi kulit pada konsumen. Klinik kecantikan ilegal yang menawarkan transformasi instan tanpa izin resmi BPOM juga menyebabkan pasien mengalami infeksi dan komplikasi serius. Fenomena ini menegaskan perlunya pengawasan hukum yang lebih ketat.

 

Selain UU Kesehatan dan Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19 Tahun 2016) juga relevan. Promosi menyesatkan di platform digital dapat dianggap sebagai penyebaran informasi yang merugikan konsumen. Dampak hukum bagi pelanggar cukup serius: produsen atau distributor bisa dikenai sanksi administratif hingga pidana, klinik ilegal bisa ditutup, dan influencer yang mempromosikan produk menyesatkan dapat dipanggil pihak berwenang. Sayangnya, pengawasan terhadap ranah digital masih terbatas, sehingga masyarakat kerap menjadi pihak yang dirugikan.

 

Mengatasi persoalan ini membutuhkan pendekatan multidimensional. Pemerintah harus hadir aktif, bukan hanya sebagai pembuat aturan, tetapi juga sebagai pelindung konsumen. Edukasi publik mengenai keamanan produk kosmetik dan cara memeriksa izin BPOM perlu digencarkan, khususnya melalui media sosial yang menjadi basis tren. Influencer dan figur publik perlu diberikan panduan promosi yang etis dan transparan, agar tidak menyesatkan konsumen. Penegakan hukum terhadap klinik ilegal dan produk berbahaya harus tegas, sehingga hak masyarakat atas informasi yang benar dan perlindungan kesehatan terpenuhi.

 

Peran pendidikan juga penting. Sekolah dan keluarga perlu menanamkan kesadaran kritis terhadap standar kecantikan digital. Remaja harus diajarkan untuk menghargai keberagaman fisik, memahami bahwa penampilan bukan satu-satunya tolok ukur nilai diri, dan menilai konten media sosial secara kritis. Orang tua dapat membimbing anak dalam memilih konten positif dan edukatif. Dengan pendekatan ini, glow up dapat menjadi ekspresi diri yang positif, bukan perlombaan yang merusak psikologis.

 

Masyarakat juga dapat mengambil langkah preventif. Konsumen dianjurkan memeriksa izin edar BPOM, membaca ulasan independen, dan tidak mudah terbuai oleh janji instan produk kosmetik. Influencer dan perusahaan harus menyadari tanggung jawab moral dan hukum mereka, memastikan setiap promosi tidak menyesatkan dan sesuai regulasi.

 

Fenomena glow up pada akhirnya mencerminkan interaksi kompleks antara budaya visual, media sosial, dan regulasi hukum yang masih berkembang. Konsumen harus bijak dan kritis; pemerintah harus sigap sebagai pelindung; dan industri kecantikan harus bertanggung jawab. Sinergi ketiga pihak ini akan memastikan tren glow up tidak sekadar menjadi hiburan atau ajang pamer, tetapi menjadi ruang yang sehat, aman, dan inklusif bagi semua.

 

Dengan kombinasi edukasi, regulasi, dan literasi digital, glow up bisa menjadi tren positif. Masyarakat dapat mengekspresikan diri dengan aman, sadar hukum, dan tetap menghargai keberagaman penampilan. Tren kecantikan digital pun tidak lagi menjadi tekanan psikologis, melainkan sarana kreatif untuk mengekspresikan diri, selaras dengan hak dan perlindungan konsumen yang dijamin hukum.


Penulis: Hizkya Anggun Septiana Sihaloho, Mahasiswa aktif prodi Ilmu Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

0 Komentar