Rinduan Jam Dinding Tua

 


Di ruang tamu yang sunyi itu, tergantung sebuah jam dinding kuno. Jam itu memiliki bingkai kayu yang sudah pudar warnanya, menghitam karena usia. Jarum-jarumnya yang dulunya berkilau kini tampak kusam, seakan-akan telah lelah menghitung detik-detik yang terus berlalu. Meskipun begitu, jam itu tetap setia pada dinding, seolah-olah masih menantikan detik-detik yang takkan pernah kembali. Ruangan itu, meski kecil, dipenuhi dengan kenangan masa lalu. Setiap sudutnya menceritakan kisah yang tersimpan dalam keheningan, terbungkus dalam debu yang menumpuk di atas perabotan tua.

Setiap malam, ketika bulan mengintip dari jendela, jam dinding itu hidup. Suasana berubah ketika sinar bulan menerpa permukaan kacanya. Bayangan-bayangan yang semula bersembunyi di sudut-sudut ruangan kini tampak lebih nyata, dan suasana sunyi itu menjadi hidup dengan bisikan lembut dari jam dinding. Ia berbisik lirih, menceritakan kisah-kisah tentang waktu yang pernah ia saksikan, kisah-kisah yang telah terhapus oleh gelombang masa lalu tetapi tetap terpatri dalam mekanisme jam yang tak pernah beristirahat.

"Dulu," katanya suatu malam dengan suara yang hampir tak terdengar, "aku pernah melihat seorang anak kecil tertawa riang saat kue ulang tahunnya dipotong. Waktu itu, detik-detik terasa begitu lambat, setiap momen terasa begitu berharga. Anak itu dengan penuh kegembiraan meniup lilin-lilin kecil yang berkelip di atas kue. Aku ingat bagaimana seluruh ruangan dipenuhi dengan tawa, bagaimana setiap orang yang hadir merasakan kehangatan dan cinta."

Suara jam itu seolah membawa kembali kenangan yang telah lama hilang, seakan-akan menggali dari kedalaman ingatan yang terlupakan. Ia melanjutkan ceritanya dengan nada yang lebih dalam, seolah-olah terhanyut dalam nostalgia.

"Dan pernah juga," lanjutnya, suaranya semakin lirih, "aku melihat seorang kekasih berjanji untuk selamanya. Mereka berdiri di hadapanku, tangan mereka saling menggenggam erat, dengan mata yang bersinar penuh cinta. Namun, waktu terus berjalan, dan janji itu sirna ditelan waktu. Aku menyaksikan bagaimana cinta mereka perlahan pudar, bagaimana janji-janji itu akhirnya hanya menjadi kenangan pahit. Betapa ironisnya, ketika cinta yang dulu begitu kuat, akhirnya terkikis oleh waktu."

Jam dinding itu terdiam sejenak, seolah merenung dalam keheningan malam. Cahaya bulan memantul pada permukaan kaca jam, menciptakan ilusi lautan waktu yang tak berujung. Dalam pantulan itu, tampak bayangan-bayangan samar dari masa lalu, wajah-wajah yang pernah menghiasi ruangan itu, kini hanya tinggal jejak yang memudar.

"Aku pernah melihat kota yang begitu ramai," lanjut jam dinding itu, suaranya kini terdengar lebih dalam dan penuh nostalgia, "di mana orang-orang berlalu lalang dengan tergesa-gesa, mengejar waktu yang seolah tak pernah cukup. Mereka lupa untuk menikmati keindahan setiap detiknya. Mereka berlari, berkejaran dengan detik yang tak kenal lelah, tanpa menyadari bahwa mereka telah melewatkan momen-momen berharga yang takkan pernah kembali."

Kota itu, yang pernah begitu hidup dan penuh warna, kini hanya tersisa dalam ingatan jam dinding yang setia. Ia melihat bagaimana orang-orang yang dulu begitu bersemangat kini telah pergi, bagaimana bangunan-bangunan megah yang dulu berdiri kokoh kini hanya tinggal puing-puing yang tertelan oleh waktu. Semuanya berubah, namun jam dinding itu tetap sama, menggantung di dinding, menyaksikan perubahan yang terjadi di sekitarnya dengan keheningan yang bijaksana.

Tiba-tiba, jarum jam yang selama ini diam mulai bergoyang pelan. Detik demi detik, jarum itu bergerak, seolah menghidupkan kembali ingatan-ingatan yang tersimpan dalam mekanismenya. Dengan gerakan yang perlahan namun pasti, jam itu kembali berdetak, seakan-akan ingin membangkitkan kembali semua yang telah hilang. Cahaya bulan semakin terang, menyinari ruangan dengan lembut, dan perlahan-lahan, dinding kamar mulai berubah.

Dinding yang tadinya polos kini dipenuhi dengan lukisan-lukisan hidup. Ada lukisan seorang anak kecil yang sedang tertawa lepas, lukisan sepasang kekasih yang saling berpelukan, dan lukisan kota yang ramai dengan segala aktivitasnya. Lukisan-lukisan itu bergerak, seolah menceritakan kembali kisah-kisah yang pernah diceritakan oleh jam dinding. Wajah-wajah dalam lukisan itu tampak begitu nyata, seakan-akan mereka akan keluar dari dinding dan menghidupkan kembali ruangan yang sunyi itu.

Anak kecil dalam lukisan itu tumbuh menjadi dewasa, dengan setiap garis wajahnya yang perlahan berubah seiring berjalannya waktu. Kekasih dalam lukisan itu menua bersama, tangan mereka yang dulu kokoh kini mulai berkeriput, namun mereka tetap saling menggenggam erat. Kota dalam lukisan itu terus berkembang, gedung-gedung baru bermunculan, dan kehidupan terus berjalan dengan segala dinamikanya. Waktu terus berjalan, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam. Namun, dalam lukisan-lukisan itu, waktu seolah berhenti. Setiap momen terabadikan dengan sempurna, menjadi saksi bisu perjalanan waktu yang tidak akan pernah kembali.

Jam dinding itu terus berputar, semakin cepat dan semakin cepat. Cahayanya semakin terang, hingga akhirnya ruangan itu dipenuhi oleh cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu seakan-akan mencoba menghapus semua kenangan buruk, mencoba memberikan kesempatan untuk memulai kembali. Ketika cahaya itu meredup, semua lukisan kembali menghilang, dan dinding kamar kembali seperti semula. Ruangan itu kini tampak sunyi dan hampa, seolah-olah semua yang terjadi hanyalah ilusi yang muncul dalam sekejap.

Jam dinding itu pun kembali diam, jarumnya berhenti tepat pada angka 12. Dalam keheningan malam, jam dinding tua itu membisikan lembut kepada angin, "Waktu adalah anugerah. Gunakanlah sebaik mungkin, sebelum semuanya terlambat..." Bisikan itu terdengar begitu lembut, namun penuh makna, seakan-akan mengandung pesan yang dalam bagi siapa saja yang mendengarnya.

Setelah bisikan itu terdengar, jam tua tiba-tiba jatuh dari tempatnya. Dengan suara yang menggetarkan, ia pecah berhamburan di lantai. Pecahan kaca berserakan, menimbulkan suara yang seketika memecah keheningan malam. Jam itu, yang selama ini menjadi saksi bisu dari perjalanan waktu, kini terbaring hancur, menyatu dengan debu yang telah lama menumpuk.

Di atas lantai, di antara pecahan jam yang berserakan, sinar bulan masih menyinari, seakan-akan mencoba merangkul sisa-sisa dari benda yang dulu begitu berharga. Waktu terus berjalan, detik-detik berlalu tanpa henti, namun jam itu kini telah berhenti selamanya.

Karya: Ankaa Rejasa

0 Komentar