Desa Tambahagung, Nadi Kehidupan Berasal Dari Pertanian atau Jejak Perantauan?

 


Pati - Rabu (06/08/2025), Kabut tipis masih menggelayut di pagi hari ketika para petani berlalu lalang di depan Posko KKN Antasena. Suasana masih temaram menjelang matahari terbit. Sederhana, para petani memakai caping tutup kepala menunggangi sepeda motor atau mengayuh sepada. Sapaan selamat pagi terucap dari lisan-lisan yang tulus menularkan semangat beraktivitas untuk memulai hari. Namun, dalam hati kami bertanya, apakah nadi kehidupan desa ini berasal dari aset pertanian?


Mayoritas mata pencaharian penduduk desa Tambahagung memang merupakan petani padi, lainnya berupa pengusaha mikro dan rumah produksi. Di sisi lain, penduduk desa yang merantau juga terbilang cukup banyak. Dari observasi yang dilakukan KKN Antasena pada bulan Juli yang lalu, didapati data penduduk desa yang meninggalkan kampung halamannya sebanyak 567 orang dengan rata-rata usia berkisar antara 25-40 tahun. Mereka merantau ke luar negeri seperti Jepang, Korea dan Taiwan atau ke luar pulau seperti Kalimantan dan Sumatra. 


Kenapa Penduduk Lebih Memilih Merantau, Padahal Pertanian Di Desanya Sudah Terbilang Maju?


Kenyataannya, merantau sudah seperti pilihan tersendiri bagi setiap warganya. Terutama bagi anak muda, sawah tetap kelihatan seperti jalan buntu di mata mereka. Banyak diantaranya yang merantau bukan karena desa belum maju, tapi karena di tanah rantau, mereka merasa lebih punya pilihan dan hasil yang menjanjikan. Di sana ada pabrik, toko, proyek, bisa kerja apa saja dengan uang yang lebih cepat tanpa harus menunggu musim tanam dan panen. 


Masih banyak pula pemikiran yang mengatakan bawah jadi petani itu berat, butuh tenaga, kesabaran, dan hasil yang kadang tidak sebanding. Apalagi jika ditambah ketika panen, harga anjlok, atau cuaca tidak bersahabat dan takut gagal panen. Sehingga dengan alasan seperti ini banyak yang memilih jalan perantauan.


Kendati demikian, penduduk yang merantau tidak lantas selamanya berada di tanah perantauan yang mereka pijak. Dalam beberapa tahun, mereka kembali ke desanya sembari membawa pengalaman baru, pemikiran baru dan membuat perubahan versi mereka masing-masing. Bagi mereka, merantau tidak hanya mengajarkan cara bertahan hidup tetapi juga mengajarkan hal lain yang tidak kalah penting seperti cara mengatur uang, cara bersikap, dan yang paling penting; mengajarkan mencintai tanah sendiri.



Lalu, Apakah Berarti Pertanian Tak Lagi Bernilai?


Pertanian justru tetap menjadi denyut kehidupan Desa Tambahagung yang terus mengalir maju. Mereka yang tinggal dan bertahan, atau pulang dari perantauan berpadu asa mengelola sawah. Banyak di antara mereka memilih kembali menggarap tanah di desa menjadi lahan padi yang merunduk menguning, dengan segala ketangguhan dan harapan yang tumbuh dari benih-benih padi yang ditanam. Para petani tetap menjadi garda terdepan, menjadi wajah desa yang sesungguhnya; sederhana, bersahaja, dan penuh daya juang.


Kadang kala, rumah-rumah mereka sepi karena ditinggal penghuninya bekerja di negeri orang. Namun nama-nama mereka tetap dicatat di kartu keluarga, tetap tercantum dalam doa para orang tua. Dua sisi kehidupan ini seperti saling melengkapi. Pertanian menjadi akar yang menjaga desa tetap hidup dan berdetak, sementara perantauan menjadi sayap yang memperluas cakrawala. Desa Tambahagung seperti memiliki dua nadi: satu yang tertanam dalam tanah, dan satu lagi yang berdenyut jauh di luar sana, namun tetap mengalirkan kehidupan kembali ke asalnya. (KKN Antasena)


0 Komentar