YouthSpace #15: Santri Berdaya, Menembus Batas Digital Tanpa Kehilangan Akar

 

YouthSpace #15 edisi Mathole’ Fest yang digelar pada Sabtu, 5 Juli 2025, di Aula Kampus IPMAFA Pati menghadirkan ruang reflektif dan penuh semangat bagi santri dan generasi muda. Mengangkat tema “Gen-Z Berdaya: Ngaji Kesetaraan & Kemandirian di Tengah Digital Life”, acara ini membuka diskusi seputar relevansi dakwah digital, personal branding, hingga spiritualitas dalam menghadapi derasnya arus informasi global. Dihadiri oleh tiga narasumber inspiratif—Ning Muhim Nailul Ulya (PP Fatayat NU), Ning Nadia Abdurrahman (PP Fathul Ulum Kediri), dan Mas Jay Akhmad (Koordinator Seknas Jaringan Gusdurian)—acara ini menjadi panggung berbagi pengalaman dan pengetahuan yang dikemas dalam bentuk talkshow terbuka, hangat, dan bisa diakses oleh umum secara gratis.

Acara diawali oleh sambutan dari Abdul Ghofarrozin, M.Ed., yang menyampaikan pentingnya memahami dua konsep fundamental dalam keadilan sosial masa kini, yakni ekuitas dan inkuitas. Dua istilah ini, menurutnya, merupakan kunci dalam membaca dan mengatasi ketimpangan, termasuk dalam dunia digital yang semakin kompleks dan sering kali bias terhadap kelompok tertentu. Ia menekankan bahwa kesetaraan bukan berarti penyamaan semata, tetapi pengakuan atas perbedaan titik awal dan pemberian akses yang adil bagi semua pihak, termasuk generasi muda dan kalangan santri.

Dalam materinya, Ning Nadia Abdurrahman menyampaikan bahwa digitalisasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. “Jika tidak ikut digitalisasi, maka kita akan tenggelam,” ujarnya tegas. Namun, ia menambahkan bahwa keterlibatan dalam dunia digital tidak berarti meninggalkan tradisi. “Namun tidak dengan meninggalkan tradisi. Apa yang kita ambil, yang banyak kebermanfaatannya saja,” jelasnya. Menurutnya, nilai-nilai lokal dan keagamaan harus tetap menjadi filter utama dalam menyaring dan memanfaatkan teknologi. Ia juga mengajak peserta merenungi makna kemandirian dalam pandangan spiritual Islam. “Esensi kemandirian seorang hamba bukan hanya mandiri. Kekuatan yang sebenarnya hanya di hadapan Allah. Kemandirian yang next level adalah Wa an laisa lil insān illā mā sa’ā,” kutipnya dari Al-Qur’an Surah An-Najm ayat 39. Dalam pandangan Nadia, kemandirian sejati bertumpu pada keimanan yang kuat. “Landasan kemandirian adalah keimanan dari seseorang itu sendiri. Berdaya dalam keimanan adalah spiritualitas manusia.”

Sementara itu, Ning Muhim Nailul Ulya membawakan pandangan yang sangat membumi dan relevan bagi para santri yang ingin berkiprah di media sosial. Ia menepis anggapan bahwa dakwah digital hanya bisa dilakukan oleh kalangan tertentu. “Untuk berdakwah di media sosial tidak harus punya privilese—anaknya kiai, ning, gus. Yang modalnya hanya satu, yaitu ilmu. Itu yang sebenarnya kemandirian yang harus kita punya, yaitu ilmu dan skill,” tegasnya. Ia mengajak peserta untuk mulai dari apa yang dimiliki dan tidak ragu membagikan hal-hal baik kepada dunia melalui media yang kini sudah terbuka lebar.

Mas Jay Akhmad turut memperluas perspektif dengan mengangkat fenomena globalisasi. Menurutnya, globalisasi hari ini tidak lagi menyamakan manusia berdasarkan ras atau hubungan darah, tetapi berdasarkan minat dan komunitas. “Globalisasi tidak disamakan oleh ras dan hubungan, tapi akan sama pada hobi dan komunitas,” jelasnya. Ia juga menyentil fenomena generasi muda yang cenderung hanya melihat sisi negatif organisasi keagamaan. “Generasi sekarang melihat NU hal-hal yang jelek-jelek, bukan hal-hal baik yang dilihat,” ujarnya. Dalam paparannya, Mas Jay membagikan tips dan trik dalam membangun dakwah di era digital: “Konsistensi, inovasi, kolaborasi, terus berkembang terhadap globalisasi, tidak gagap terhadap revolusi.” Ia menekankan pentingnya santri tidak hanya hadir, tapi aktif dan kreatif dalam memainkan narasi di media sosial yang kini menjadi medan pertarungan ide dan opini.


Pertanyaan dari peserta juga menarik perhatian, salah satunya mengenai pentingnya narasi tanding dan bagaimana santri tetap bisa eksis dalam keterbatasan digital di pondok. Para narasumber sepakat bahwa media sosial kini adalah medan pertarungan yang sesungguhnya. “Media sosial itu jadi medan pertarungan sekarang, jadi memang narasi itu bisa dimainkan, soal isu,” terang salah satu narasumber. Sementara soal keterbatasan di pesantren, mereka mengingatkan bahwa itu bukan hambatan melainkan bentuk investasi ilmu. “Memang harus ada pembatasan, karena bagi pelaku memang itu sebagai penderitaan. Tapi ini hanya tentang masa—masa untuk investasi ilmu dulu. Karena ada masanya pula kita akan punya masa di mana kita punya kebebasan untuk menggunakan barang-barang digital. Bahkan ada beberapa informasi yang tidak perlu kita tahu, karena ketertinggalan ini bukan menjadikan kalian menjadi manusia purba.”

Dalam sesi reflektif, Ning Nadia menyoroti pentingnya self-leadership dan bagaimana seseorang harus mampu menempa dirinya sendiri untuk terus belajar dan berkembang. “Pergerakan itu dari diri kita sendiri, bukan harus digerakkan oleh orang lain,” katanya. Ia menambahkan bahwa personal branding sangat penting di dunia digital, namun harus dilakukan dengan keistiqamahan. “Menjadikan follower percaya terhadap hal-hal yang kita bawa.” Nilai-nilai seperti relevansi, playfulness and enjoy, serta keotentikan disebut sebagai modal penting, tetapi semua itu perlu diupayakan. “Otentik karena punya ciri khas tersendiri. Tapi bukan pasrah dengan diri kita yang sebenarnya, namun harus diusahakan skill-nya.”

Ning Muhim juga menambahkan pandangan tentang keamanan perempuan di ruang digital. “Kemandirian dan kesetaraan yang safety untuk perempuan. Misal kita sudah terjun di dunia digital, kita harus tuyup telinga dan mata dengan jari-jari netizen yang kritik,” pesannya penuh makna.

Menutup acara, Mas Jay menyampaikan bahwa dunia digital ke depan akan dipenuhi oleh santri yang memiliki kapasitas dan kecakapan digital. “Kita masih beruntung masih punya ruang aman dari bahayanya sampah-sampah informasi digital. Tapi nanti, digital akan dipenuhi santri-santri yang berkemampuan digital,” ujarnya optimistis. Pernyataan ini diamini oleh Ning Nadia, yang menyampaikan bahwa keraguan dalam melangkah adalah bagian dari proses menaklukkan zona nyaman. “Ketika akan melangkah di dunia digital, banyak hal yang diinsecure-kan adalah sebuah sinyal zona nyaman. Karena itu sebuah kenyamanan. Dan sebuah kemandirian itu harus berusaha mampu menaklukkan dirinya. Karena sebuah kemandirian itu akan ada setelah mengalahkan zona nyaman.”

Salah satu peserta, Nila Amalia, mengungkapkan kesannya terhadap acara ini. “Bagus, isinya daging banget, tidak monoton. Mulai dari MC sampai narasumber semuanya playfulness,” ujarnya penuh antusias. Komentar ini menjadi cermin keberhasilan acara dalam mengemas ilmu dan refleksi dalam suasana yang ringan namun berisi.

YouthSpace #15 menjadi pengingat bahwa santri bukan hanya pewaris tradisi, tapi juga aktor utama dalam peradaban digital. Di tengah kompleksitas zaman, mereka dituntut tidak hanya cakap dalam membaca kitab, tetapi juga piawai dalam membaca zaman dan memproduksi makna. Dan dari ruang Aula IPMAFA Pati, gema itu digaungkan: bahwa santri yang beriman, berilmu, dan berani akan mampu menembus batas-batas zaman—tanpa harus kehilangan jati dirinya.

 (Nila,Ank)


0 Komentar