Dulu, ia sering membayangkan dirinya sebagai astronot, menjelajahi galaksi yang luas dengan pesawat ruang angkasa yang berkilau. Sejak kecil, impiannya adalah melayang di antara bintang-bintang, menjelajahi planet-planet tak dikenal, dan menjadi pahlawan yang membawa kebanggaan bagi umat manusia. Setiap malam sebelum tidur, ia memandangi poster-poster luar angkasa yang menghiasi dinding kamarnya, memimpikan petualangan di luar batas bumi.
Namun,
kini semua itu terasa seperti mimpi yang terlalu jauh untuk diraih. Ia hanya
seorang pegawai kantoran biasa, terjebak dalam labirin gedung pencakar langit
dari beton dan kaca. Setiap harinya adalah rutinitas yang membosankan: bangun
tidur, berangkat kerja, pulang kerja, tidur. Bahkan mimpinya kini hanya
dipenuhi oleh bayangan layar komputer dan tumpukan dokumen yang tak kunjung
habis. Dalam keseharian yang monoton, ia merasa seperti sebuah roda gigi kecil
dalam mesin raksasa yang bergerak tanpa henti.
Kota
tempatnya tinggal terasa seperti sebuah kotak kardus raksasa. Gedung-gedung
menjulang tinggi bagai dinding kardus yang membatasi pandangannya. Ia sering
membayangkan bagaimana jika gedung-gedung itu tiba-tiba runtuh, menimbulkan
awan debu yang menyelimuti seluruh kota, dan menyisakan kehampaan. Jalanan yang
ramai adalah labirin yang tak berujung, dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk
dengan urusan masing-masing, seperti semut yang berlarian kesana kemari. Di
dalam kerumunan, ia sering merasa dirinya lenyap, tenggelam dalam lautan
manusia yang tak peduli.
Mimpi-mimpi
masa kecilnya kini terasa seperti gelembung sabun yang pecah. Harapan-harapan
yang dulu membakar semangatnya kini memudar seperti warna pada lukisan yang
terkena air hujan. Ia merasa seperti sebuah boneka kayu yang digerakkan oleh
tali-tali tak kasat mata, dipaksa mengikuti gerakan yang bukan keinginannya
sendiri. Terkadang, ia merindukan hari-hari ketika ia bisa berlari bebas di
taman, menghabiskan waktu berjam-jam bermain tanpa beban, tanpa peduli pada
dunia yang sekarang menghimpitnya.
Suatu
malam, saat sedang berjalan pulang, ia melihat langit. Langit yang biasanya
gelap dan penuh bintang, kini tampak aneh. Bintang-bintang seolah
berkedip-kedip dengan ritme yang aneh, membentuk pola-pola yang tak bermakna.
Ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya, sesuatu yang jauh di dalam dirinya,
sebuah bisikan yang memintanya untuk melihat lebih dalam, lebih jauh. Mungkin,
pikirnya, ini adalah tanda dari alam semesta, sebuah petunjuk untuk kembali
mengejar mimpi yang telah lama ia kubur.
Ia
terus berjalan mengikuti pola bintang itu, berharap menemukan sesuatu yang
lebih dari sekadar rutinitas. Langkahnya semakin cepat, seakan-akan ia dikejar
oleh sesuatu yang tak kasat mata. Namun, semakin jauh ia berjalan, semakin
terasa hampa dan sunyi. Bangunan tua itu hanyalah ilusi, fatamorgana yang
muncul dari kegelisahannya. Di tengah malam yang dingin, ia merasakan kegelapan
yang merayap masuk ke dalam hatinya, menghapus sisa-sisa harapan yang sempat
muncul.
Ketika
kembali ke kota kardus, ia merasa lebih kecil dan lebih kesepian dari
sebelumnya. Cahaya lampu kota yang menyilaukan seakan menertawakan
ketololannya. Mimpi-mimpi yang sempat menyala kembali kini redup, bagai lilin
yang kehabisan minyak. Ia mulai menyadari bahwa dirinya hanyalah bagian dari
kesia-siaan yang lebih besar, bagian dari kota yang telah menelannya
hidup-hidup.
Hari
demi hari berlalu, ia kembali ke rutinitas yang membosankan. Ia mencoba mencari
pelarian dalam kesibukan kerja, dalam hiruk pikuk kota, namun nihil. Kosong.
Hampa. Setiap upaya untuk melarikan diri dari kehampaan hanya berujung pada
kesadaran bahwa tidak ada tempat di mana ia benar-benar bisa merasa hidup.
Wajah-wajah yang ditemuinya setiap hari hanyalah topeng-topeng tanpa jiwa, dan
setiap senyuman yang ia lihat tampak kosong, tak berarti.
Suatu
malam, saat sedang menatap langit, ia melihat bintang-bintang itu kembali
membentuk pola yang sama. Namun, kali ini polanya lebih jelas, lebih
menyeramkan. Ia melihat wajahnya sendiri di antara bintang-bintang itu, wajah
yang penuh kesedihan dan penyesalan. Wajah itu menatapnya dengan mata yang
hampa, seakan-akan sedang berkata, "Inilah kamu. Inilah hidupmu."
Sejak
saat itu, ia mulai terobsesi dengan pola bintang itu. Setiap malam, ia
menghabiskan waktu berjam-jam di atap gedung, mengamati langit, berharap
menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggunya. Ia mencari makna di
balik pola-pola yang tampak acak, mencoba menghubungkan setiap titik cahaya
dengan harapan menemukan gambaran yang utuh, sebuah peta yang bisa membawanya
keluar dari labirin kota kardus ini. Namun, yang ia temukan hanyalah kehampaan
yang semakin dalam. Pola-pola itu hanya menjadi cerminan dari kekosongan
hidupnya, sebuah teka-teki yang tak pernah bisa ia pecahkan.
Pada
akhirnya, ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Dengan langkah gontai, ia
berjalan menuju tepi gedung pencakar langit tertinggi di kota. Di sana, angin
malam yang dingin menerpa wajahnya, membawa serta kenangan-kenangan masa lalu
yang terasa semakin jauh. Ia berdiri di sana, menatap ke bawah pada lautan
lampu yang berkilauan, lampu-lampu yang kini tampak seperti bintang-bintang
palsu di langit buatan.
Dalam
sekejap, semua kenangan masa kecil, harapan, dan kekecewaan berputar di
kepalanya. Ia teringat akan impian masa kecil, walaupun konyol, menjadi astronot,
terbang menjelajahi galaksi yang luas. Ia teringat saat-saat ketika hidupnya
dipenuhi oleh harapan dan kebahagiaan sederhana. Namun, semua itu kini hanyalah
bayangan yang kabur, sebuah kisah yang terasa seperti milik orang lain.
Ia
tersenyum pahit. Ia menyadari bahwa ia telah mencari-cari sesuatu yang tidak
akan pernah ia temukan. Mimpi-mimpi itu, bintang-bintang itu, hanyalah ilusi
yang diciptakan oleh pikirannya yang lelah. Ia telah mencoba melarikan diri
dari kenyataan, hanya untuk menemukan bahwa tidak ada tempat untuk melarikan
diri.
Dengan perlahan, ia melangkah ke depan. Dan dalam keheningan malam, tubuhnya jatuh menghilang ditelan kegelapan. Di atas sana, bintang-bintang terus berkedip, seakan-akan tidak pernah ada yang berubah. Kota kardus itu tetap berdiri, dengan segala kehampaannya, menunggu korban berikutnya yang akan tersesat di dalamnya.
Penulis: Ahmad Andika Prasetya
0 Komentar