Dari Pena ke Keabadian: Daurah Kitabah & Ijazahan IPMAFA Kupas Tuntas Seni Menulis Kitab Bersama Dua Ulama Muda

 


PATI – Menghidupkan kembali denyut tradisi tulis-menulis di kalangan pesantren dan akademisi, Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) menggelar kegiatan Daurah Kitabah & Ta’lif serta Ngaos & Ijazahan Kitab “Alfiyyah al-Kholilie” dan “Ats-Tsabat al-Indunisiy” pada Senin, 7 Juli 2025. Bertempat di Aula Lantai 2 Kampus IPMAFA, acara ini menjadi magnet bagi ratusan peserta dari kalangan civitas akademika dan masyarakat umum yang haus akan sanad keilmuan dan seni menulis kitab langsung dari para muallifnya.

Dibuka secara resmi oleh Dr. KH Ali Subhan, Direktur Pascasarjana IPMAFA, kegiatan ini menjadi ruang penting dalam menanamkan kesadaran akan pentingnya menulis sebagai tradisi ilmiah Islam. “Kita tidak boleh berhenti hanya pada membaca dan mengajar. Menulis adalah bentuk ibadah intelektual yang akan menjaga ilmu tetap hidup lintas generasi,” ujar beliau dengan penuh semangat.

Acara menghadirkan dua narasumber istimewa sekaligus muallif dari kitab yang dikaji: Lora Ibrahim al-Kholilie, penulis kitab Alfiyyah at-Ta’rif wat-Tatsqif (atau Alfiyyah al-Kholilieyah), dan Gus Nanal Ainal Fauz, penulis Ats-Tsabat al-Indunisiy. Kehadiran keduanya bukan hanya sebagai pemateri, namun juga sebagai pewaris sanad keilmuan yang memberikan ijazah langsung kepada para peserta, sebuah pengalaman langka yang sangat dihargai.

Dalam sesi utama, Lora Ibrahim al-Kholilie menyampaikan mauidhoh khasanah yang tak hanya membedah isi kitabnya, tetapi juga membeberkan pengalaman pribadi, nilai spiritual, serta filosofi yang mendasari proses kepenulisannya. Lora mengakui bahwa proses menulis kitab bukanlah perkara mudah. “Banyak cobaan, banyak keraguan, tapi saya meyakini bahwa menulis kitab bukan sekadar menuangkan ilmu, melainkan menyusun warisan abadi,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa kitabnya memiliki dua nama, yakni Alfiyyah al-Kholilieyah dan Atta’lif wat-Tatsqif, termasuk dalam kategori kitab mukhtashor karena jumlah baitnya tidak terlalu banyak. Namun, isi kitab sangat padat dan mengandung nilai-nilai kepenulisan yang dalam. “Ada satu bab khusus dalam kitab ini yang saya tulis tentang pentingnya menulis. Di halaman 13, saya tuliskan kisah awal saya memulai menulis kitab ini,” ungkapnya.

Lora kemudian membagikan kisah inspiratif tentang sejarah penulisan dalam Islam. Ia mengutip bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama yang menulis dengan tanah liat dan batu, sementara Nabi Idris adalah yang pertama menulis dengan pena. “Sebagus apapun karya kita, tetap yang paling istimewa adalah orang yang pertama kali menciptakan ilmu,” tutur Lora.

Lebih dari sekadar berbagi pengalaman, Lora juga mengulas delapan metode penulisan kitab yang ia rangkum dalam karyanya. Ia menekankan bahwa karya ilmiah terbaik adalah yang benar-benar orisinal, mengangkat tema yang belum pernah disentuh oleh penulis lain. Ia juga menyarankan agar penamaan kitab mempertahankan unsur keindahan, seperti rima dan sajak. “Nama kitab itu harus punya daya tarik, itu bagian dari seni yang harus kita jaga,” ucapnya.

Salah satu poin penting yang ditegaskan Lora adalah bahwa menulis kitab memiliki jangkauan yang lebih luas daripada mengajar. “Mengajar hanya terbatas pada siapa yang hadir di depan kita, tapi kitab bisa menjangkau siapa pun, kapan pun, di mana pun. Ia hidup selama ilmunya dibaca dan diamalkan,” tegasnya.



Tak hanya berbicara soal teknik menulis, Lora juga menyentuh aspek spiritualitas dalam kepenulisan. Ia menyampaikan bahwa para ulama terdahulu senantiasa melakukan tirakat ketika menulis. “Mereka shalat dua rakaat setiap kali selesai menulis satu bab. Itu bukan sekadar ritual, tapi bentuk keikhlasan dan penghormatan terhadap ilmu,” katanya.

Dalam mauidhohnya, Lora banyak mengangkat kisah ulama besar yang menulis kitab di tengah keterbatasan. Bahkan para sahabat Nabi, menurutnya, mampu menulis meski dalam kondisi perang dan sebagai panglima. “Kalau mereka saja bisa menulis dalam kondisi genting, masa kita yang hidup nyaman hanya rebahan tak bisa menghasilkan satu pun karya?” sindirnya halus, memancing tawa sekaligus perenungan dari para peserta.

Di samping sesi Lora Ibrahim, peserta juga diajak menyelami kandungan kitab Ats-Tsabat al-Indunisiy karya Gus Nanal Ainal Fauz, yang memperkuat argumentasi pentingnya keilmuan dan sanad dalam dunia pesantren. Gus Nanal memaparkan bagaimana kitabnya hadir sebagai respon atas kebutuhan penguatan identitas keilmuan pesantren di tengah gempuran zaman modern.

Peserta yang telah mendaftar sejak 27 Juni hingga 5 Juli 2025 mendapatkan fasilitas berupa materi daurah, snack, sertifikat, ijazah sanad, serta kesempatan membeli kitab lengkap dengan tanda tangan muallif. Biaya pendaftaran pun cukup terjangkau: Rp35.000 untuk civitas IPMAFA dan Rp50.000 untuk peserta umum.

Kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa IPMAFA tetap konsisten menjadi kawah candradimuka dalam menggodok para intelektual muda berbasis pesantren. Daurah ini tidak hanya menanamkan keilmuan, tetapi juga menumbuhkan semangat produktivitas menulis sebagai bagian dari ibadah dan perjuangan.

Menutup sesi, panitia berharap agar kegiatan ini tidak berhenti pada sekadar ijazahan, tetapi menjadi pemantik lahirnya para penulis kitab generasi baru yang tak hanya menguasai ilmu, tetapi juga berani mengabadikannya dalam bentuk tulisan. Sebab sebagaimana yang ditekankan para ulama, “Ilmu yang tidak ditulis, akan hilang bersama waktu.”

(Nila, Ank)

 

0 Komentar