Mungkin sudah saatnya kita berhenti bertanya “ke mana laki-laki?” dan mulai bertanya “apa yang bisa diubah agar mereka minat datang?” (freepik.com)
PATI- Sebagai mahasiswa, pastinya kalian pernah ikut kegiatan seminar, pelatihan, atau acara kecil lainnya di kampus. Nah, coba kalian ingat-ingat lagi, siapa sih yang lebih banyak join kepanitiaan ataupun peserta saat ada acara? Perempuan atau laki-laki?
Iyaa benar, perempuan jadi mayoritas pengisi acara, baik sebagai bagian dari kepanitiaan ataupun peserta. Terus pertanyaannya, kemana saja laki-laki selama ini? Kenapa panggung organisasi lebih dominan perempuan? Apa sih alasan laki-laki lebih pasif berorganisasi?
Ada beberapa faktor yang memicu berkurangnya minat berorganisasi bagi laki-laki nih, mari kita bahas satu persatu!
1. Laki-laki jadi minoritas di dunia perkuliahan.
Data tahun 2024 yang merilis tentang jumlah mahasiswa Institut Pesantren Mathali'ul Falah, bahwa total mahasiswa sebanyak 1.730 terdiri dari 1.056 perempuan dan 674 laki-laki, jika dipersentasekan perempuan mendominasi sebanyak 61% dan sisanya sebanyak 39% adalah laki-laki.
Nah, dilihat dari data tersebut, kita sudah menemukan salah satu faktor penting bahwa jumlah mahasiswa perempuan dan laki-laki sangat tidak seimbang. Jumlah laki-laki yang lebih sedikit membuat mereka menjadi kelompok minoritas dalam kegiatan kampus, termasuk di panggung organisasi.
2. Faktor eksternal: laki-laki lebih sedikit memilih melanjutkan pendidikan daripada perempuan.
Setelah kita tau bahwa laki-laki lebih ternyata sedikit yang melanjutkan ke jenjang perkuliahan daripada perempuan, dari sana kita bisa usut kasus ini lebih dalam lagi. Kenapa jumlah laki-laki lebih sedikit daripada jumlah perempuan di dunia perkuliahan? Apa sih alasannya?
Dilihat dari faktor ekonomi, laki-laki sering kali memikul tanggung jawab lebih besar untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga membuat laki-laki lebih memilih untuk bekerja demi menyambung hidup daripada melanjutkan pendidikan yang dianggap sebagai "privilege" setelah lulus SMA.
Dalam struktur sosial, laki-laki dipersiapkan menjadi tulang punggung keluarga yang bertugas mencukupi kebutuhan secara menyeluruh, hal ini membuat laki-laki lebih memilih bekerja, yang hasilnya bisa segera dilihat secara nyata. Serta tekanan sosial yang mengharuskan laki-laki mapan dalam hal finansial membuat sebagian besar memilih bekerja dan mengesampingkan pendidikan.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa pilihan laki-laki untuk tidak melanjutkan pendidikan bukan semata karena kurang minat, tetapi lebih dipengaruhi oleh tuntutan ekonomi dan konstruksi sosial.
Realitas ini menjelaskan kenapa laki-laki lebih sedikit terlibat di dunia kampus, termasuk dalam organisasi. Tapi, apakah hanya faktor eksternal yang berpengaruh? Mari kita telusuri lebih jauh dari sisi internal laki-laki itu sendiri.
3. Faktor Internal: Kurang Motivasi Berorganisasi
Faktor internal sendiri dinilai lebih berpengaruh dalam memotivasi seseorang daripada faktor eksternal dan dari realitas di atas kita akan telisik faktor internal kenapa laki-laki tak suka berorganisasi. Apakah faktor Internal ini punya kaitan dengan faktor eksternal?
Mahasiswa laki-laki secara acak jadi objek wawancara singkat dan jawaban mereka beragam. Sibuk kerja jadi alasan terbanyak kenapa mereka tidak bisa ikut organisasi, waktu mereka sudah cukup tersita oleh pekerjaan dan tugas kuliah yang jadi prioritas. Mereka juga mempertimbangkan faktor kesehatan jika terlalu memforsir energi pada banyak hal sekaligus.
Menjadi anak pondok jadi alasan selanjutnya, pondok sendiri sudah mempunyai aturan dan sistem yang terstruktur, teratur, dan terorganisir sehingga membuat mereka tidak bisa leluasa menyisipkan waktu untuk ikut serta dalam kegiatan organisasi.
Jarak antara rumah dan kampus yang jauh juga masuk dalam jawaban wawancara singkat ini, mereka keberatan mengikuti organisasi karena pulang pergi dari rumah ke kampus dinilai tidak efektif dan boros dana bensin. Satu alasan lagi yang sedikit menyentil adalah karena organisasi tidak menghasilkan cuan, alasan yang cukup make sense karena memang berorganisasi tidak menghasilkan uang.
Alasan mereka semua valid, karena dalam wawancara ini tidak ada opsi benar maupun salah. Dari semua alasan bisa kita tarik kesimpulan kecil bahwa organisasi bukan prioritas utama dan juga bukan karena mereka malas atau tidak peduli, melainkan hasil dari berbagai pertimbangan realistis yang berakar pada kondisi internal dan eksternal mereka.
Motivasi yang rendah bukan tanpa sebab, tapi lebih karena adanya prioritas lain yang dianggap lebih mendesak, seperti pekerjaan, kondisi fisik, dan tanggung jawab terhadap pondok, keluarga, maupun diri sendiri.
Namun, hal ini juga bisa jadi alarm bahwa dunia organisasi kampus perlu melakukan pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan mahasiswa laki-laki. Mungkin bukan mereka yang harus "masuk" ke dunia organisasi, tapi organisasi yang harus mulai "menjemput bola" dan menghadirkan ruang yang fleksibel, relevan, dan bernilai nyata bagi mereka.
Jika hari ini panggung organisasi lebih banyak diisi perempuan, mungkin bukan karena perempuan lebih aktif semata, tapi karena sistem dan lingkungan kampus lebih ramah pada mereka. Sementara laki-laki, yang dibebani ekspektasi sosial untuk “mapan” dan “kuat” sejak dini, justru ditarik menjauh dari ruang-ruang non materi seperti organisasi.
Ini bukan semata persoalan minat, tapi tentang sistem yang gagal memberi makna dan nilai praktis pada kegiatan berorganisasi di mata laki-laki. Kalau organisasi kampus masih berjalan dengan pola yang sama, jangan heran kalau keterlibatan laki-laki akan tetap stagnan. (Siti Anwaroh, PGMI 4D)
0 Komentar