![]() |
Sumber: Pinterest |
Di antara keramaian itu, Andi mengayuh sepedanya perlahan, membiarkan angin menerpa wajahnya dengan lembut. Ia datang ke Pare bukan hanya untuk belajar bahasa Inggris di Kresna Institute, tetapi juga untuk mencari suasana baru, sebuah jeda dari rutinitasnya. Kelas yang ia pilih—pronunciation dan vocabulary—cukup ringan, karena niatnya memang sekadar belajar sambil menikmati liburan. Namun, tanpa ia duga, di antara barisan kata dan pengucapan yang harus dikuasainya, ia menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga—sepasang mata yang diam-diam mencuri perhatiannya.
Hari pertama di kelas, Andi melihatnya—Salwa. Wanita berkerudung dengan senyum meneduhkan, menghadirkan ketenangan dalam setiap gesturnya. Sorot matanya membawa kesejukan yang mengalir lembut di dalam ruangan kecil itu, bagaikan embun pagi yang meresap ke dalam tanah yang haus. Tatapan pertama mereka bertemu, sejenak saja, tapi cukup untuk menggetarkan sesuatu di dalam hati Andi.
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Andi selalu memilih tempat duduk yang tak terlalu jauh darinya, cukup untuk melihat ekspresi wajahnya saat ia berbicara. Setiap kali Salwa mengucapkan kata dalam bahasa Inggris dengan suara lembutnya, Andi merasa seakan waktu melambat. Ada melodi yang tak terdengar, hanya bisa dirasakan di dalam dada. Ia ingin mengenalnya lebih jauh, ingin mengetahui seperti apa pikirannya, namun setiap kali kesempatan itu datang, keberaniannya lenyap begitu saja.
Di luar kelas, mereka sering berpapasan saat bersepeda menuju tempat kursus. Andi selalu berharap bisa mengucapkan sesuatu—sekadar menyapa, menanyakan kabarnya, atau sekadar berkomentar tentang cuaca. Tapi yang terjadi hanyalah anggukan kecil dan senyuman yang menggantung di bibir masing-masing. Begitu juga dengan Salwa. Mereka berbagi tatapan yang dipenuhi makna, mengandung ribuan kata yang tak pernah diucapkan.
Suatu sore, setelah kelas usai, Andi duduk di sebuah warung kopi di sudut jalan. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat para pelajar lalu lalang, beberapa bercanda dengan teman-temannya, beberapa duduk sendiri dengan buku catatan terbuka. Pare memang memiliki atmosfer yang unik, penuh semangat belajar namun tetap santai. Di seberang jalan, ia melihat Salwa berjalan dengan teman-temannya. Sesaat mata mereka bertemu, dan untuk sekian kalinya, hanya tatapan dan senyuman yang berbicara.
Di dalam kelas, ada momen-momen kecil yang terasa begitu berharga bagi Andi. Saat Salwa tertawa pelan karena kesalahan pengucapan seorang teman, saat ia mengangkat alisnya tanda berpikir keras, atau ketika ia dengan telaten mencatat setiap kata yang dianggapnya penting. Setiap gerak-geriknya bagaikan puisi yang ditulis tanpa pena, hanya tersimpan dalam ingatan.
Namun, tidak pernah ada kata yang terucap di antara mereka. Tidak pernah ada percakapan, tidak pernah ada keberanian untuk menyapa lebih dulu. Mereka hanya menjadi dua orang yang saling memperhatikan dalam diam, memuja dalam sunyi, menyimpan perasaan yang entah apa namanya. Mereka adalah dua orang asing yang begitu dekat, tapi tetap terpisahkan oleh batas yang tak terlihat.
Waktu berjalan tanpa peduli pada perasaan yang tertinggal. Bulan berganti, dan liburan pun harus berakhir. Andi tahu, cepat atau lambat, hari itu akan tiba—hari di mana ia harus meninggalkan Pare. Sore itu, setelah kelas terakhir, ia mencuri satu tatapan terakhir ke arah Salwa yang duduk di bangkunya, wajahnya diterangi oleh cahaya jingga matahari senja. Ada sesuatu dalam ekspresinya, seolah ia juga merasakan yang sama, namun tetap tak mampu mengungkapkannya.
Saat kelas bubar, Andi menunggu di luar, berharap Salwa akan menoleh dan menemukan ada satu momen kecil yang bisa menjadi kenangan terakhir yang ia simpan. Namun, Salwa berlalu begitu saja, tanpa kata, tanpa isyarat selain tatapan dan senyuman yang masih sama seperti sejak hari pertama, namun sedikit lebih lama dari biasanya—itu adalah tatapan terakhir yang menyimpan seluruh rasa yang tak pernah tersampaikan.
Andi mengayuh sepedanya pulang, bersiap meninggalkan Pare dengan hati yang berat. Udara senja terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya hatinya yang terasa hampa. Ia tidak tahu apakah akan bisa bertemu Salwa lagi, apakah mereka akan tetap menjadi dua orang asing yang pernah saling memperhatikan tanpa benar-benar berbicara.
Di antara banyaknya kata yang ia pelajari di Pare, ada satu yang paling melekat dalam hatinya—"Silent." Sebuah kata yang menggambarkan perasaannya yang tak pernah tersampaikan, Diam. seperti bayangan senja yang perlahan memudar, tetapi keindahannya tetap tinggal di dalam ingatan.
Oleh: Ahmad Andika Prasetya
0 Komentar