Kita, Tanpa Kata


Namanya Ravi. Kameramen yang tak banyak bicara, tapi selalu tahu angle terbaik untuk frame dilayar kameranya. Diamnya bukan canggung, melainkan kenyamana disetiap keheningan, seperti jeda yang tak perlu diisi. Aku Alysa, reporter baru di staisun televisi ANTARA TV yang masih sering salah intonasi saat stand up. Tapi anehnya, aku selalu percaya diri jika yang berada dibalik kamera adalah dia. Aku dan Ravi, kita partner yang memegang teguh profesionalitas, tak pernah menyebut apa yang telah tumbuh diantara jeda pekerjaan dan perjalanan pulang. Namun, disanalah segalanya terasa paling jujur. Tanpa kata, tapi selalu ada.


“Demikian yang bisa saya laporkan, kembali ke studio.” Aku tersenyum lega setelah berhasil menyelesaikan liputan live di salah satu rumah peribadatan dengan baik.


“Good Job, Alysa,” ucap Ravi. kata Ravi sambil menyodorkan sebotol air minum. Aku menerimanya dengan senyum yang tak bisa kutahan. Di balik keheningannya, selalu ada dukungan yang tak perlu diminta. “Selalu begini,” batinku.


“Semakin hari kamu semakin hebat, aku bangga padamu, Al.” Aku menoleh menatap Ravi yang memutar beberapa video dikameranya, ada sebuah perasaan aneh yang tidak bisa aku deskripsikan mendengar kata itu keluar dari mulut seorang Ravi.


“Kamu juga hebat, angle yang kamu ambil tidak pernah gagal, selalu sempurna,” ucapku.


Kedua sorot mataku seolah terkunci pada netra hitam legam milik seseorang yang ada didepanku saat ini. Angin sore menyapu pelan anak rambutku hingga menutupi pandanganku. Melihat itu, tangan Ravi tergerak lembut untuk menyelipkan beberapa anak rambut dibelakang telingaku, seolah membisikan sesuatu yang tak pernah diucapkan, Notifikasi di ponselku berbunyi, memecah keheningan yang tadi terasa begitu nyaman. Aku melirik layar, ada pesan masuk dari Bu Bos.Aku segera membuka ponselku, dengan Ravi yang masih ada disampingku. “Ada apa?” tanyanya.


“Dapat tugas dari Bu bos untuk liputan di LSM dan Gedung DPRD besok,” jawabku.


Dia hanya mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, menenteng tas selempangku seolah isyarat untuk segera pulang. Tangan besarnya meraih tanganku dengan lembut, menuntunku menuju mobil dinas. 


Selama perjalanan pulang, aku terdiam menatap kendaraan yang lalu lalang meramaikan kota dibalik kaca mobil, sesekali aku juga melirik Ravi yang sudah terlelap disampingku.


“Hanya tatapan, waktu, dan jeda diantara kita yang terkadang membuat semuanya terasa berbeda, tapi tidak pernah ada kata apapun diantara kita, selain rekan kerja,” batinku.


***


Aku dan Ravi, sudah menjadi crew sejak pertama kali aku masuk ANTARA TV beberapa bulan yang lalu. Tapi, kali ini produser memisahkan kami ditempat peliputan yang berbeda, dan dengan orang yang berbeda pula dari biasanya. Sejujurnya ini sedikit membuatku kesulitan, tapi aku harus tetap profesional.


“Ravi udah selesai belum, ya?” tanyaku lirih, seraya menatap room chatku dengan Ravi.


Perjalanan pulang kali ini berbeda, tidak ada orang yang memujiku, memberiku nasihat dan semangat, ataupun mendengarkan keluh kesahku selama bertugas hari ini, aku merasa sepi.


Aku memutuskan untuk ikut makan malam di resto dekat kantor, dengan langkah lunglai, aku turun dari mobil dinas bersama Etza, kameramenku hari ini, dan juga beberapa crew lainnya. Aku memicingkan kedua mataku, mendapati laki-laki yang sangat aku kenali makan malam bersama partner barunya.


“Al, itu bukannya Ravi?” tanya Etza, melihat Ravi yang tak berada jauh dari meja kita. Aku mengangguk mengiyakan, “Aku dengar kamu dan Ravi sangat dekat, apa kalian berdua pacaran?” lanjutnya.


“Bisa dibilang kami memang dekat, tapi tidak pacaran.” Sebenarnya aku sedikit kaget dengan pertanyaan spontan dari Etza, tapi aku tetap menjawab yang sejujurnya.


Aku dapat melihat jelas raut wajah penasaran Etza. “Terus, kalian tuh sebenarnya apa sih?” tanyanya kebingungan.


Aku terdiam membisu, dalam hati pun aku bingung dengan semua hal yang terjadi antara aku dan dari laki-laki diseberang sana, semuanya terasa abu-abu.


Sedangkan dimeja yang berbeda, seorang laki-laki beberapa kali mengabaikan pertanyaan dari gadis didepannya, dengan kedua tangan mengepalkan dibawah meja, menahan gejolak aneh yang menguasai dirinya saat ini.


***


Sejak pertemuan tidak sengaja diresto beberapa waktu lalu, Ravi mulai jarang ditugaskan bersamaku lagi. Ada nama lain di list crew, ada kamera lain yang menyorotku. Bukan Ravi, bukan lensa yang selama ini membuatku merasa terlihat lebih dari sekedar reporter.


Dan entah sejak kapan aku mulai menghitung momen-momen kecil yang pernah aku lewati bersamanya. Saat dia mengulurkan jas hujan waktu kami kehujanan di tengah liputan bencana. Saat dia diam-diam membelikan teh manis hangat, dan roti karena tahu aku belum makan. Atau bahkan saat dia menatapku dari balik viewfinder,¹ fokus, serius, tapi ada sesuatu di sana yang tak bisa dijelaskan. Dan sekarang, aku merindukannya.


Aku menoleh ke meja kerja Ravi. Meja kerjanya ada disatu ruangan denganku, tapi rasanya seperti ada angin dingin menerpa ruangan di anatara kami. Sekarang aku merasa dia begitu jauh, bahkan untuk bertegur sapa saja sulit. Setiap kali sang pemilik meja ada di tempatnya, aku ingin bertanya tentang kesehariannya bersama Jeni, reporter baru yang ditugaskan menjadi crew nya. Tapi lagi-lagi aku sadar, aku tidak punya hak untuk menuntut apapun terhadapnya.


“Astaga, aku lupa kalau Etza minta aku nemuin dia di ruang editing.” Aku segera mengambil beberapa naskah yang diminta Etza dan menuju ruang editing.


Di dekat ruang editing, langkahku terhenti melihat Ravi tertawa bersama Jeni. Akrab, ringan, seolah tak ada beban. Senyum itu yang dulu terasa milikku, kini mudah sekali dia bagikan. Aku masih diam tak bergeming. Mungkin begini akhirnya, kisah yang tak pernah dimulai, pun tak pernah diberi kesempatan untuk berakhir.


“Ternyata aku yang berlebihan.” Aku tertawa hambar dengan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. “Aku salah pernah berpikir bahwa kamu mengaggapku istimewa, lebih dari rekan kerja, tapi kenyataannya…”  lanjutku dengan nada sedu.


***


Mengabaikan sesuatu yang dari lubuk hati sangat kita inginkan adalah sesuatu hal yang sulit. Seperti aku yang mencoba mengabaikan perasaan aneh antara aku dan Ravi. Tapi entah mengapa alam seperti menentang, setelah sekian lama aku dan Ravi disatukan lagi untuk melakukan liputan disebuah festival yang ada di luar kota.


“Bersikap profesional layaknya reporter dan juga kameramen,” batinku selama peliputan.


Tiada mendung, tiba-tiba hujan turun deras, membasahi jalanan kota, semua crew berbondong-bondong menyelamatkan kamera dan peralatan liputan lainnya. Dalam hati aku merasa lega, untungnya aku berhasil menyelesaikan liputan sebelum hujan. 


Disinilah kami sekarang, disebuah warung makan padang untuk mengisi perut sekaligus berteduh menunggu hujan reda. Aku melirik Ravi dari ekor mataku, tidak ada percakapan apapun antara aku dan Ravi, selain terkait pengambilan gambar waktu peliputan tadi. Semuanya terasa canggung dan aneh. 


Hujan deras mengiringi keheningan di antara kami, hanya suara gemericik yang menemani saat itu. Tiba-tiba, Ravi meneguk kopinya dalam-dalam, seakan butuh keberanian sebelum akhirnya berkata,


“Ini liputan terakhirku, aku mau resign, Al.” 


Kata-katanya seperti petir di siang bolong, menusuk tepat ke dadaku. Aku terpaku, mencari jawaban di matanya yang kini tak lagi menatapku.


“Besok aku akan kembali ke tempat asalku, Makasar,” tambahnya membuatku tidak bisa berkata-kata. Secepat ini?


Aku membuang muka ke arah lain, terlalu lemah untuk menatap kedua netra hitam legam itu, “Semoga kamu segera mendapatkan pekerjaan kembali ketika tiba disana.” ujarku setegar mungkin.


Hening,


“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucap aku dan Ravi bersamaan.


Aku tersenyum kaku, begitupun dengan Ravi, “Kamu duluan aja,” ujarku mempersilahkan.


Aku mengerutkan keningku melihat Ravi yang nampak gelisah, tak kunjung berbicara. “Sebenarnya apa yang ingin Ravi sampaikan?” batinku.


“Aku…aku mau, kamu selalu ada disamping aku walaupun kita terpisahkan oleh jarak.”


Ucapan Ravi berhasil membuat kupu-kupu berterbangan diperutku, tapi aku harus memastikan sesuatu, “Maksutnya?”


“Selalu disampingku sebagai teman, aku nggak mau pertemanan kita terputus begitu aja,” jawabnya cepat. Aku mengagguk dan kembali menertawakan diriku sendiri, bisa-bisanya aku bisa berpikir berlebihan.


“Kamu mau ngomong apa?” tanyanya menyadarkanku.


Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya. "See you, jangan lupa aku, Ravi," bisikku pelan, suaraku bergetar meski aku berusaha menutupinya.


Mata kami bertemu lagi, ada rindu, perpisahan, dan sesuatu yang tak pernah sempat diucapkan, menggantung di udara di antara kami. Rasanya seperti ribuan jarum menusuk hati, tapi aku hanya bisa memaksakan senyum, berusaha kuat, setidaknya untuk saat ini.. “Nggak akan, Al,” ujarnya.


“Selama aku nggak ada kamu harus jaga diri kamu baik-baik, selalu semangat kerja, promise.” Aku mengangguk dan meraih jari kelingking Ravi, “Promise.”


Ravi memelukku, tak ingin menyiayiakan kesempatan terakhir, aku pun membalas pelukan itu, pelukan yang akan selalu aku rindukan. Aku menangis dalam dekapan Ravi, begitupun sebaliknya. Hujan menjadi saksi perpisahan kita.


“Maaf aku belum bisa mengutarakannya sekarang, Al” batinnya.


***


Sebaik apapun perpisaha, tetap akan menyakitkan. Perlahan aku mulai berdamai dengan diriku, kembali beraktivitas seperti biasanya, menjadi seorang reporter. Kini, setiap kali aku berdiri di depan kamera, aku masih bisa membayangkan dia dibaliknya, menyesuaikan fokus, mencari angle terbaik, memberiku semangat ketika aku ngeblank dan diam-diam menjaga aku tetap ditempatku. Semuanya masih terasa nyata.


Di akhir malam, aku membuka folder lama di laptopku. Aku kembali membuka video lama yang pernah Ravi kirimkan padaku, aku tertawa saat salah ucap, dan Ravi, yang tertangkap di pantulan kaca tersenyum kecil sambil memegang kamera. Hanya beberapa detik, tapi cukup untuk mengingatkan bahwa kami pernah ada dalam dunia kerja, dalam diam, dalam kedekatan yang tak pernah disusun lewat kata.


“Kita pernah berjalan sejauh ini, atau bahkan hanya aku. Tanpa kata, tanpa janji, tapi aku cukup yakin kamu juga pernah merasa. Dan itu, mungkin sudah cukup,” ucapku seraya memeluk figura yang berisi foto kebersamaanku dengannya ditempat kerja.


“Terimakasih pernah ada, walau tanpa kata, tapi aku merasa sangat bahagia.”


~Selesai~


Footnote:

¹ Viewfinder: Jendela Intip Pada Kamera


by: Riska Setya Ningrum

0 Komentar