![]() |
Lukisan karya Kandinsky berjudul Bild mit Häusern yang dipersengketakan ahli waris dan museum di Belanda |
"Bukankah kau mengagungkan guru kau itu! Maka patuhilah aku sebagai suami kau!" Bentak seorang pria kepada istrinya dengan menunjuk wajah sang istri.
"Guruku memanglah mengajarkanku untuk patuh dan mendengarkan seorang suami. Namun bukan berarti menuruti semua kemauanmu ! Aku juga berhak bersuara, Pak!". Jawab sang istri berusaha setenang mungkin.
Nasywa, perempuan dibalik kamar itu lama kelamaan muak mendengar pertengkaran kedua orang tuanya yang sudah seperti alarm pagi yang terjadwal. Ia memutuskan keluar untuk mencari udara segar dengan membawa buku sebagai alibi.
"Mau kemana kau, Nak?" Tanya ibu tatkalala Nasywa membuka pintu kamar.
"Mau mengerjakan tugas diluar. Silahkan lanjutkan aktivitas Ibu dan Bapak. Aku pamit." Ujar Nasywa menyindir sembari mengulurkan tangan berpamitan kepada kedua orang tuanya. Mendengar perkataan putrinya, membuat dua orang yang beradu itu kemudian diam.
***
Nasywa menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya dengan mata terpejam. Tenang. Itu yang saat ini Nasywa rasakan, berada ditengah sawah dibawah gubuk tempat petani biasa beristirahat. Sore itu dia termenung, memikirkan kegelisahannya perihal dua pemikiran dari orang tuanya yang saling bertabrakan. Perihal warisan nenek yang seharusnya tidak menjadi sebab sebuah pertengkaran.
Ya, ini perihal warisan yang diberikan nenek untuk ibu. Sebidang tanah seluas dua hektar yang memicu pertengkaran hanya karena perbedaan pendapat antara ibu dan bapak.
Nasywa menghembuskan nafas dengan kasar. "Gini nih, kalo mondok ngga dimanfaatkan dengan baik. Tau tidur mulu. Sekolah bagaikan kamar sampingan ! Astaghfirullah, maafkan hamba mu yang khilaf ini Ya Allah". Gerutu Nasywa mendramatisir.
Sekarang dia bingung harus melakukan apa. Karena awalnya Nasywa berfikir untuk tidak ikut campur kala kedua orang tuanya berseteru. Nasywa selalu berfikir ia masih terlalu kecil dan tidak akan paham urusan orang dewasa. Namun, lama-kelamaan ia jengah sendiri dan merasa tidak berguna sebagai seorang anak. Untuk apa menimba ilmu agama disebuah pondok pesantren selama bertahun-tahun jika tak sedikitpun ilmu ia amalkan.
***
"Assalamu’alaikum."
"Wa’alaikumussalam," jawab ibu dengan nada datar. Tak ada pertengkaran malam ini, tapi keheningan justru membuat dada Nasywa lebih sesak. Ia masuk ke kamar, menyimpan buku yang tadi dibawanya hanya sebagai tameng pelarian.
Di dalam kamar, ia duduk bersila, membuka kitab Fathul Qarib yang masih ia ingat halaman-halaman utamanya. Matanya menatap satu paragraf soal warisan, lalu berpindah ke kitab Bidayatul Mujtahid yang membahas ragam pendapat ulama tentang hukum. Di balik semua itu, satu kesadaran muncul, bahwa ilmu tidak satu warna. Fiqih adalah samudera.
***
Pagi harinya, datang dua orang perangkat desa yang diundang oleh kedua orang tuanya untuk membantu mengurus perihal warisan mendiang neneknya. Nasywa memutuskan berbicara. Ia minta izin bicara di hadapan keluarganya dan perangkat desa.
"Maafkan Nasywa, Nasywa tidak bermaksud untuk menggurui dan turut campur. Namun Nasywa rasa Nasywa perlu berbicara, apalagi ini menyangkut keluarga Nasywa. Nasywa hanya ingin menyampaikan sedikit pengetahuan yang sudah Nasywa dapat selama belajar dipondok," Semua mata tertuju padanya, menunggu apa yang akan dikatakannya selanjutnya. Nasywa menghela napas, berusaha mengatur kata-kata agar tidak terkesan menggurui.
Nasywa menatap satu per satu wajah yang hadir, menyelami keheningan yang terasa lebih berat dari debat.
"Masalah warisan ini sebenarnya bukan hanya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Bahkan dalam fiqih, ada banyak pendapat yang berbeda tentang bagaimana kita seharusnya bersikap. Saya ingin mengingatkan, bahwa ada pandangan yang beragam, baik dari ulama besar maupun sahabat Nabi sendiri."."
Semua menoleh.
"Bapak bilang warisan harus dibagi secara mutlak kepada ahli waris, sementara Ibu ingin tanah ini tetap jadi milik keluarga tanpa dijual. Dan keduanya sama-sama mengutip dalil dan guru masing-masing."
Nasywa berhenti sejenak, menatap wajah-wajah yang tegang.
"Bahkan soal hibah dari orang tua yang wafat pun, ada khilaf ulama. Sekali lagi, kita tidak sedang membicarakan benar atau salah, tapi bagaimana menempatkan hukum sesuai konteksnya."
Ia membuka kitab yang dibawanya. "Di sini Imam Malik berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i. Bahkan sahabat Nabi pun berbeda pandangan dalam menyikapi hal serupa. Tapi mereka tidak saling mengkafirkan, tidak pula mencaci."
Semua diam.
"Jadi, kalau Nasywa boleh usul sebelum bapak dan ibu mengambil keputusan sebaiknya masalah ini kita bicarakan bersama terlebih dahulu dengan kepala dingin dan tidak saling keras kepala. Bagaimana, Pak Bu?" Ujar Nasywa dengan sangat hati-hati.
"Saya rasa Nasywa benar, Pak Bu. Bapak, Ibu dan Nasywa sebagai seorang anak juga berhak memberikan pendapat dan ikut dalam musyawarah kalian. Jadi saya rasa kalian perlu untuk kembali bermusyawarah perihal warisan tersebut. Baik kalau begitu kami pamit terlebih dahulu. Besok kami akan kembali lagi setelah kalian musyawarah." Salah seorang dari perangkat desa angkat bicara setelah mendengarkan semua perkataan Nasywa. Setelah itu dua orang perangkat desa pulang membiarkan keluarga itu musyarawah secara kekeluargaan.
Nasywa takut setelah mengutarakan pendapatnya. Ia takut bapak dan ibunya akan marah karena Nasywa yang ikut campur. Namun, setelah perangkat desa pulang Bapak dan ibu hanya diam melamun tidak bersuara.
***
Beberapa minggu kemudian, atas musyawarah keluarga dan tokoh desa, tanah warisan disepakati menjadi wakaf keluarga atas nama almarhumah nenek. Sebagiannya digunakan untuk kebun dan tempat belajar anak-anak desa. Tak seorang pun menjual atau memilikinya secara pribadi.
"Saya tidak berkepentingan atas tanah ini. Tapi saya berkepentingan atas keluarga ini."
Ucap Nasywa kala itu mengambang di udara seperti doa yang belum selesai diaminkan. Tak ada yang menyela. Tak ada bantahan. Hanya suara embusan napas panjang yang terdengar dari Bapak.
Nasywa tak mendapat sepetak pun dari tanah itu. Tapi hatinya lapang. Fiqih itu luas. Dan di antara keluasan itu, ada ruang untuk memahami. Bukan hanya memutuskan. Sebab kebenaran bukan soal siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling bijak melihat konteks.
Tangannya menyentuh sampul kitab yang ada di pangkuannya. Nasywa tengah berada di gubuk sawah tempat ia merenungkan masalah keluarganya kala itu. Matanya menatap lurus kedepan, milhat senja disore hari. Nasywa merasa sangat senang karena akhirnya orang tuanya tidak lagi berseteru mengenai warisan nenek. Nasywa senang melihat senyum ibunya yang kembali mengembang, dan ketenangan di mata Bapaknya yang sempat redup, adalah anugerah yang tak terukur baginya.
Terlepas dari itu semua, Nasywa bagagia, tenang dan lapang. Ia bersyukur karena ia bisa mengamalkan setidaknya sedikit banyaknya yang ia dapat saat belajar dipondok. Sehingga ilmu tidak hanya ditimbun dalam ingatan dan sanubari tetapi juga dijadikan cermin dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
END
Oleh : Zakiyah Darojah
0 Komentar