![]() |
Sumber: Pinterest |
Aisyeh rasanya senang bukan main. Dia menyampaikan pesan dari ibunya itu pada neneknya. Riang juga nampak pada wajah neneknya. Dia bersyukur salah satu cucunya bisa berkuliah. Apalagi dapat beasiswa.
Akhirnya dia juga bisa punya cucu yang nanti jadi sarjana. Aisyeh juga turut mengundang saudara lainnya. Malam nanti di rumah Aisyeh akan ada syukuran kecil-kecilan. Pak Haji Tamrin yang jadi pengisi pengajiannya.
Pak Haji Tamrin pun terkenal sebagai seorang sarjana agama juga. Selain sebagai pengisi pengajian. Dia juga kerap diundang oleh beberapa orang untuk jadi penasihat-penasihat rapat kelurahan.
Malam tiba, rumah Aisyeh lampunya terang benderang. Orang-orang berdatangan. Saudara-saudara Aisyeh sudah pada berkumpul. Beberapa orang ada yang membawa hadiah dan jajanan buat Aisyeh.
Aisyeh duduk di depan rumah. Menyambut para tamu yang datang. Sementara ibunya menyiapkan beberapa jajanan buat tamu. Ayahnya nampak lagi ngobrol sama Pak Haji Tamrin. Nenek Aisyeh pun datang juga.
Pak Haji Tamrin segera membuka pidato ceramahnya. Semua hadirin mendengarkan dengan baik. Seusai pengajian, Pak Haji Tamrin berpesan pada semua hadirin agar mendoakan kesuksesan buat Aisyeh.
Bahkan khusus dari Pak Haji Tamrin, dia berkata pada Aisyeh supaya belajar yang tekun, dengan membaca, nanti akhirnya jadi pinter. Supaya cita-cita tidak sia-sia. Pak Haji Tamrin juga percaya kalau Aisyeh itu anak pinter.
Selesai acara, semua orang pada berkumpul dan saling mengobrol. Mereka berbicara panjang lebar dan saling bercerita. Tidak ketinggalan juga dengan Aisyeh, dia lagi nimbrung ngobrol sama Kolaine.
Kolaine gadis keturunan Belanda, rambutnya ikal seperti payung. Kalau disibak baunya wangi sekali. Kolaine biasa dipanggil Ine. Ine dan Aisyeh bukan saudara. Tapi saudara Aisyeh punya teman namanya Kolaine. Jadi, Ine adalah teman tidak langsung dari Aisyeh.
Kolaine pandai bicara bahasa Belanda. Sejak kecil tinggal di Belanda. Orang menyebut Kolaine dengan sebutan preng. Atau plesetan dari kata pirang. Karena rambutnya yang kepirangan itu.
Tetapi Kolaine juga pandai bahasa Jawa. Sehingga Kolaine sering disebut juga bule Jawa. Banyak orang menyebut Kolaine dengan sebutan apapun saja. Kolaine tetap Kolaine. Itu panggilan dari Aisyeh buat Kolaine.
“Beruntung, kamu bisa kuliah. Emang kamu kalau lulus mau jadi apa?” ucapan Kolaine menusuk hati. Tentu itu ucapan kasar sekali. Tapi Aisyeh sabar. Dia tahu watak orang itu beda-beda. Tidak bisa disamakan.
“Tidak apa, kita kan hanya melakukan kewajiban mencari ilmu,” jawab Aisyeh menyampaikan maksud. Kolaine ketus sekali. Dia buang muka dan tidak mau bicara lagi. Kemudian berucap, “Sombong.”
Aisyeh tidak meladeninya. Dia menganggap Kolaine emang seperti itu. Kolaine adalah orang yang suka mengolok-olok Aisyeh. Dalam hati dia iri kepada Aisyeh. Sedangkan Aisyeh tidak mau menanggapinya.
Aisyeh menganggap itu biasa saja. Dibiarkan saja. Biar panas hati sendiri. Kolaine lalu berkata lagi, “Uang orang tua elu, bukan elu, songong, sombong amat.” Kolaine berkata dengan melemparkan kulit kacang ke sampah.
Orang-orang memperhatikan Kolaine dan Aisyeh. Tetapi Aisyeh mencoba untuk mengalah dan bersabar. Semua itu hanya ujian bagi Aisyeh. Aisyeh mengucap istighfar sebanyak-banyaknya. Lalu Kolaine ngomong lagi, “Kenapa sih kamu tidak mati saja?” ucapan Kolaine.
Kolaine memang sangat ketus dan kejam. Bicaranya sangat kasar sekali. Dia sangat menunjukkan sikap tidak Sukanya secara terbuka. Memang begitulah Kolaine. Orang Jawa berbangsa Belanda.
Tetapi tidak semua orang Jawa berbangsa Belanda seperti itu. Teman Aisyeh yang lain yang juga seperti Kolaine bicaranya santun dan baik hati. Itu adalah sifat dan karakter dari masing-masing orang.
Kejadian ini bermula setengah tahun lalu. Kolaine adalah kawan dari saudara Aisyeh. Mereka bertemu dan layaknya orang kenal, suka main ke rumah. Kadang pergi kemana bersama. Itu yang menimbulkan kenyamanan di hati mereka.
Kemudian entah karena apa, Kolaine kemudian berkata kasar, “Kamu itu anak siapa sih? Orang kok kelakuannya mirip anjing.” Aisyeh tidak terima dengan umpatan kasar itu. Orang itu telah mencemooh dirinya.
Tanpa alasan Aisyeh pergi kembali ke rumah. Setiap bertemu dengan orang itu, dia tidak menyapanya. Hanya muka orang itu yang memalingkan wajahnya. Serta dirinya merasa ada kedamaian melakukan ini.
Aisyeh menjalani hidupnya dengan seperti biasanya. Merasa tidak pernah melakukan hal dengan beberapa orang sebelumnya. “Huuuu,” teriak orang di luar seperti babi. Kurang ajar beneran memang. Aisyeh mencoba bertahan.
Dia hanya bisa bersabar, bersabar, dan terus menahan amarah. Sebenarnya dadanya diliputi api amarah yang besar dan membara. Dia sadar juga kalau badannya mudah sakit, mudah baperan juga hatinya.
Esok hari, saat masih segar udara pagi. Masih berkabut dan orang masih belum keluar sepenuhnya dari rumah. Jalanan masih nampak kesepiannya. Aisyeh sedang jalan-jalan keluar. Dia terbiasa berlari-lari di pagi hari.
Pada jalan hitam yang ditumbuhi pohon karsen, dia melenggang dan berlari kecil. Seusai subuh, seperti biasanya dia berlari-lari supaya segar bugar dan sehat. Sampai dia bertemu Kolaine duduk di depan rumahya.
Kolaine menyapa ramah Aisyeh. Dia berbuat seperti itu. Senyumnya mengambang. Seolah dia tidak ada permusuhan dengan Aisyeh. Aisyeh membalas senyum Kolaine dengan tersenyum pula.
Kolaine meminta Aisyeh untuk berhenti. Dia juga meminta Aisyeh untuk duduk bersamanya. Dia persilahkan orang itu duduk di terasnya. Kemudian dia menawarkan minum kepada Aisyeh yang sudah lelah dan berkeringat pada mukanya.
Tentu Aisyeh tidak menolak. Dia memutuskan menerima tawaran itu. Kolaine ke dapur, pergi ke dapur untuk membuat kopi. Dia tuangkan air hangat ke dalam kopi panas itu. Kemudian keluar kembali membawakan kopi untuk orang yang sudah menunggu di luar.
“Ini kopinya, minum saja, biar tidak dehidrasi!” Kolaine melempar senyum dan meletakkan gelas di depannya. Aisyeh yang memang sudah lelah, kering tenggorokannya. Tidak sabar untuk meminum kopi.
“Tapi kenapa kamu buatkan aku kopi, seharusnya air putih saja,” seru Aisyeh. Kopi bisa bikin perut kembung dan mules, apalagi barusan Aisyeh sedang usai jalan-jalan berkeliling. Dia takut kalau terkena maag.
Wanita itu punya penyakit maag yang kadang kambuh. Kalau sedang kambuh rasanya panas dan sakit sekali di perut. Perut rasanya seperti disobek-sobek. Usus rasanya dibakar dan ditusuk-tusuki ribuan pedang.
Tetapi karena dia tidak ingin mengecewakan orang yang sudah menawari dia minuman itu, akhirnya dia meminum juga. Rasanya masih panas. Dia tumpahkan tanpa sengaja kopi itu. Masih panas sekali diseduh oleh bibir.
“Kok panas sih?” tanya Aisyeh. Justru setelah dia berbicara macam itu, Kolaine melotot dan marah-marah. Dia merasa sangat marah sehingga menendang kursi dan berdiri. Dia berdacak pinggang.
“Kamu tidak tahu terimakasih, sudah dikasih minum malah menghina aku,” dia dengan marah sambil terus melotot tajam. Telunjuknya menunjuk ke muka Aisyeh. “Sekarang kamu pergi dari sini, dasar!”
Sebenarnya, memang Kolaine sengaja melakukan itu. Dia ingin membuat Aisyeh kepanasan minum kopi. Dia ingin menghardik dan mencemooh Aisyeh di mukanya langsung. Dia melihat ini adalah kesempatan yang bagus untuk melakukan itu.
Aisyeh merasa dipermalukan oleh Kolaine. Kolaine membentaknya dan menyuruh Aisyeh sekali lagi untuk segera pergi dari rumahnya itu. Tangannya kini menunjuk ke depan rumah. Kolaine tidak main-main.
Aisyeh segera pergi meninggalkan rumah. Dia merasa sedih karena dibentaki tanpa sebab. Dalam hati Aisyeh, dia merasa ini sudah siasat dari Kolaine. Kolaine memang sungguh kejam dan dengan itu dia berhasil melakukan perbuatannya pada Aisyeh.
Aisyeh mencoba bersabar dan mengelus dadanya sendiri. Dia pun berlari lagi. Tetapi merasakan ada yang panas di perutnya. Dia merasa mules dan harus segera pergi menemukan wc. Dia berlari kencang dan sekencang-kencangnya menuju rumah.
Desember 2022
Biodata Penulis:
Muhammad Lutfi, kelahiran Pati, 15 Oktober 1997. Alumnus UNS dan UNNES. Buku: Elegi, Lorong, Asuh, Berlayar, Pelaut, Bunga Dalam Air, Sastra Mistik, Pengkajian Puisi, Sastra Profetik, Kritik Sastra dan Aplikasinya pada Puisi Chairil Anwar.
0 Komentar