Ayah


Di balik senyum hangatnya, tersimpan sejuta kisah yang tak pernah ku tahu. Ayah, sosok yang sering kali terlupakan dalam kehangatan keluarga. Selama ini, kita lebih sering memuja ibu, lupa bahwa ayah pun berjuang tanpa henti. Tapi hari ini, aku ingin mengenang perjuangan ayah, yang seharusnya selalu ada di hati kita, sejajar dengan posisi ibu.


Ayahku, seorang pria sederhana dengan tatapan mata yang penuh keteguhan. Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya terbit, ia sudah siap dengan seragam kerjanya. Langkahnya mantap, meski mungkin ada lelah yang tersembunyi di balik wajahnya yang teduh. Tak pernah ia mengeluh, tak pernah ia menunjukkan rasa penat.


Ia adalah sosok yang suka bercerita. Saat aku masih kecil, ia selalu menemani tidurku dengan cerita-cerita pengantar tidur, salah satu cerita yang menjadi cerita favoritku yaitu cerita tentang katak yang dimakan ular. Suaranya menenangkan, membuatku merasa aman. Ia juga bercerita tentang pertualangan seorang pahlawan. Mungkin, tanpa kusadari, ia sedang menceritakan dirinya sendiri.


Teringat dalam bayangan masalaluku, sepulang kerja, ayah selalu menyempatkan diri untuk mengajakku berjalan-jalan, saat itu aku selalu meminta untuk dibelikan susu dan roti. Itu adalah salah satu golden moment ku bersamanya. Juga dengan momen saat ayah mengajakku untuk memancing. Terkesan sederhana namun begitu membekas. Setelah aku dewasa, ayah mengajak adikku yang kecil untuk memancing. Spontan aku menanyakan perihal mengapa ayah suka mengajak anak-anaknya untuk memancing. Ayah menjawabnya dengan lembut "ayah tak cukup uang untuk menyenangkan kamu dan adik-adikmu, tidak seperti kebanyakan orang tua yang mampu mengajak anak-anaknya ke tempat hiburan, maka dari itu ayah memilih mengajak kalian untuk memancing". Jawaban yang membuatku sadar bahwa selama ini ayah semata-mata hanya ingin membahagiakan anak-anaknya.


Satu malam, setelah aku tumbuh dewasa, aku mendapati ayah duduk sendirian di teras rumah, bersanding kopi dan rokok. Tatapannya jauh, seolah mengenang sesuatu. Aku duduk di sampingnya, mencoba merasakan apa yang ia rasakan. Tanpa berpikir panjang, aku bertanya, "Ayah, apa yang sedang ayah pikirkan?"


Ayah tersenyum, senyum yang selalu membuatku merasa hangat. "Aku hanya mengenang masa-masa ketika kau masih kecil," jawabnya lembut. "Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin ayah menggendongmu dan mengajakmu keliling selepas pulang kerja." Aku terdiam, mengingat kembali kenangan-kenangan indah itu.


Dan kini, setelah semua yang aku dengar dan kenang, aku menyadari satu hal yang sangat penting. Ayah bukanlah sosok nomor dua. Ia adalah pahlawan yang layak mendapat tempat yang sama di hati kita, sejajar dengan ibu. masihkah kita berpikir bahwa ayah itu sosok nomor dua? Tidak. Ayah adalah cinta yang sejati, yang selalu ada di setiap langkah kita. Terima kasih, ayah. Engkau adalah pahlawan dalam setiap langkah hidupku. 

(Oleh: Khoirul Kholqillah, Mahasiswa PBA 3)

0 Komentar