Cerpen: Surau



Matanya yang tua seakan meneropong, mengamati surau di hadapannya dengan tatapan saksama. Surau yang terlihat tua, kuno, namun belum kehilangan gairahnya dalam menampung doa-doa. Semakin tua, surau yang sudah berdiri selama puluhan tahun itu masih terlihat kokoh, belum ringkih sama sekali, meski beberapa bagian lantai papannya menganga. Tikar pandan untuk alas surau tampak masih mengilap. Tangga dan penyangga dari kayu jati terlihat semakin berwibawa seiring bertambahnya usia surau. Surau yang masih bersetia tegak di depan rumahnya, meski zaman selalu berubah. Meski surau itu kini tak seramai dulu lagi.

Namun gelombang perasaan yang mengganggu itu selalu datang menyapa Wak Haji akhir akhir ini. Tiga kemenakannya mengusulkan agar surau itu diganti dengan musala baru yang lebih modern. Kuncup surau dari papan yang berukir seharusnya sudah digantikan dengan kubah berwarna biru cerah. Lantai papan yang ongak di beberapa bagian, sudah semestinya berganti dengan lantai keramik berwarna putih bersih. Lalu surau dengan model rumah panggung seperti itu sudah ketinggalan jaman.

“Wak, surau kita sepi ya, menurutku karena keadaannya yang seperti sekarang. Bunyi kerat kerat lantai kayu ini sungguh mengganggu kekhusyuan mereka yang sembahyang di sini,” ujar Muis.

“Kekhusyukan dalam bersembahyang bukan didasari di mana kita bersembahyang, Muis. Apalah artinya nanti jika surau tua ini digantikan musala baru yang jauh lebih kokoh, namun tetap senyap dari doa-doa untuk Gusi Allah,” jawab Wak Haji sendu.

Namun di akhir diskusi, Wak Haji terpaksa menerima keputusan bahwa surau yang dia dirikan berpuluh tahun itu akan dipugar. Surau dari papan akan digantikan tembok semen yang kokoh. Setelahnya Wak Haji merasakan ada kekosongan di hatinya.

Sau persatu papan dilepas, ditumpuk begitu saja di bawah pohon duku. Tikar pandan digulung, Makmun menaruh gulungan tikar pandan itu di ruang tengah. Di tempat biasa Wak Haji menonton televisi. Tikar pandan itu tak diperlukan, musala yang baru nanti akan menggunakan karpet baru yang jauh lebih lembut.

Wak Haji menatap gulungan tikar pandan itu dengan nanar. Tikar pandan itu adalah hasil anyaman almarhumah istrinya, Siti Nafisah. Istri yang sangat disayanginya, bulir air mata mengalir perlahan, bibirnya berbisik perlahan.

“Siti Nafisah, istriku, tikar hasil keterampilan tanganmu ini, nantinya akan digantikan karpet baru.” batin Wak Haji.

###

Surau yang lama telah berganti menjadi musala baru yang lebih modern. Kubah yang tidak terlalu besar, namun berwarna biru cerah menambah kesan semarak. Empat pelantang suara dipasang menghadap ke empat penjuru.

“Nanti suara Uwak akan menggema ke seluruh desa. Tak kalah dengan suara dari masjid besar di ujung desa itu, Wak,” ujar Misbah  bergurau saat uwaknya menanyakan apa gunanya memasang pelantang suara sampai empat buah.

Semuanya di rasakan Wak Haji dengan keterasingan yang tak bisa diungkapkan. Dinginnya dinding dan lantai musala tak pernah ia kenal sebelumnya. Suaranya yang menggema dari pelantang suara musala baru, terdengar asing di telinga nya sendiri. Suara azan yang ia kumandangkan senantiasa berbaur dengan suasana azan dari masjid besar di pinggir desa.

Awal mula musala itu jadi, jamaah yang bersembahyang di sana cukup semarak. Namun tak lama kemudian, musala Wak Haji sepi lagi. Tapi bukan sepinya musala baru yang membuat Wak Haji sedih. Dalam diamnya dia selalu merindukan suraunya yang lama. Surau dari papan, yang beralas tikar pandan.
 
Dulu dia membangun surau itu sedikit demi sedikit. Kayu kayu yang kemudian menjadi bagian utuh surau dikumpulkannya sendiri. Wak Haji sendiri yang merancang surau pangung. Ukiran di atas atap, dia sendiri yang membuatnya. Kini surau yang dulu selalu ramai dengan anak anak yang belajar mengaji, berganti menjadi musala baru yang senyap.

Subuh belum benar-benar datang ketika Wak Haji membuka pintu musala perlahan. Keadaan senyap, tak ada seorang pun di dalamnya. Meraba dalam gelap, Wak Haji mencari saklar lampu neon. Seperti yang dia perkirakan sebelumnya, tak akan ada banyak yang berubah. Meski sudah dipugar menjadi musala yang baru, tetap saja hanya dia seorang yang setia mengulum doa-doa di sana.

Gusti Allah tak terlalu mempersoalkan di mana para hamba-Nya bersembahyang. Yang terpenting dari semuanya adalah kekhusyukan yang ikhlas. Surau yang lama sesungguhnya tak menjadi soal, tapi bagaimana Wak Haji menolak musala yang baru ini jika dipugarnya surau adalah bukti kasih dari kemenakan-kemenakan yang telah dibesarkannya. Tapi seringnya memang begitu, balasan kebaikan terkadang luput dari apa yang diinginkan.

Wak Haji hanya duduk tepekur. Dia enggan mengambil mikrofon yang akan menyalurkan suaranya ke pelantang suara. Suara muazin masjid besar di pinggir desa sudah terdengar. Tapi Wak Haji tak juga meraih mikrofon musala baru miliknya. Dia beranjak ke tempat wudhu. Setelahnya dia bersembahyang.

Lepas mengucapkan salam terakhir, Wak Haji merasakan ada yang menghentak dadanya. Napasnya tersengal. Dia jatuh di atas karpet sajadah baru yang terbentang di atas lantai musala. Kedua matanya yang mulai kabur menangkap satu sosok yang berdiri di pintu musala.

"Siti Nafsiah..." erang Wak Haji perlahan.

Tapi bayangan almarhumah istrinya semakin lama, semakin kabur lalu menghilang. Dari bibirnya yang bergetar menahan sakit, Wak Haji hanya mampu berucap perlahan, "Allah, Allah, Allah..."

Sebelum akhirnya matanya tertutup, bibirnya berhenti bergetar.

Artie Ahmad

1 Komentar

  1. Hai, baru saja menemukan blog Anda melalui Google, dan ternyata sangat informatif. Saya akan memperhatikan Brussels. Saya akan berterima kasih jika Anda melanjutkan ini di masa mendatang. Banyak orang akan mendapat manfaat dari tulisan Anda. Salam! Wisata Indonesia Terindah ☺️

    BalasHapus