Sepasang Bingkai Jendela

 

Sinar surup belum tampak. Sang surya masih asyik bermain dengan awan – awan yang saling berceceran sebab terpaan angin kemarau. Membentuk gumpalan – gumpalan kecil, menutupi siluet biru yang dipancarkan oleh pemilik cahaya. Burung – burung yang tak ku tahu namanya  beterbangan ke sana dan kemari. Mengumpulkan makanan untuk buah hati yang baru menetas beberapa hari lalu di dahan pahon mangga. Terpaan angin kemarau memang tak sejatinya buruk. Ringan nan segar pula untuk dihirup. Terlebih disaat sore tiba. Ah, kemarau yang akan segera usai. Tanggalan sudah mulai dibuka di halaman paling akhir. Desember. Hujan juga  kerap kali menyapa mimpi lelapku, tapi hilang mereda saat alaram yang telah ku atur mulai berbunyi, memekikkan telinga di sepertiga malam buta. 


Ditakdirkan menjadi manusia yang sepertinya tak luput dari analisa dan tumpukan data, membuatku sangat bersyukur sekali bisa berhenti sebentar di balkon kamar untuk menghirup dalam – dalam angin kering yang sebentar lagi akan berganti basah. Sejak mendapatkan amanah untuk menjadi kepala tim administrasi pesatrean dua tahun lalu, aku menjadi manusia yang sangat amat tak pernah menghiraukan kenikmatan hidup. Dari bangun pagi hingga malam tiba, kesibukanku hanya di depan laptop dan komputer kantor. Sebenarnya yang ku kerjakan tak hanya perihal administrasi pesantren, tapi juga media pers kampus. Menulis berita, membuat karya tulis, reportase, dan lain sebagainya. Ya, kegiatan yang pernah ku mimpikan saat aku masih duduk di bangku dengan seragam putih abu - abu. 


Sore ini waktuku sedikit longgar. Dunia perkuliahan sudah hampir menginjak ujung semesternya. Pesantren juga akan libur beberapa minggu lagi. Dan kabar baiknya, semua urusan administrasi pesantrean terkait Emis, keuangan, dan lainnya sudah rampung ku laporkan. Huh, betapa menyenagkannya hari ini. Untuk menrayakannya, maka hari ini akan ku jemput senjaku di tempat yang telah lama tak ku ziarahi. Tempat yang dulu sering ku datangi saat ingin menenagkan hati atau meredakan penat. Balkon kecil pesantrean yang terletak di lantai dua. Tak banyak santri yang menempati balkon ini, sebab ruangannya yang sempit dan terletak di atas ruang makan ndalem. Jadi tak bisa digunakan untuk menggibah dan bercanda ria. Sebenarnya tak ada yang menarik dari tempat itu. Hanya ruangan dengan jam dinding, kipas angin,dan dua jendela panjang di ujungnya, menghadap ke pondok putra. Walaupun tak begitu menarik, ada banyak kenangan yang ku ukir di sana, bayak doa yang diam - diam ku panjatkan saat ku tatap langit dari bingkai jendelanya.


 

Riang langkahku melangkah. Sambil membawa meja belajar di tangan kanan. Sambil mendendangkan lagu arab “albi ya albi” yang jadi urutan teratas dalam playlist musikku. Menapaki setiap ubin kuno yang belum pernah diganti dari pertama kali ku masuk pesantren. Sampailah langkahku di mulut balkon yang ku maksud. Tapi aku sedikit terheran, sebab ada seorang santriwati yang terduduk di depan jendela balkon. Memandangi langit dan juga drama awan dan angin. Gadis itu seketika membuatku tersenyum. Teringat akan diriku di masa remaja dulu. “ Kira - kira dia sering ke sini nggak ya?”, “ Ah, sepertinya tempat ini sudah punya tuan barunya sejak ku tinggal lama.” Gumamku dalam hati. 



Tak ingin bermaksud menganggu, akhirnya ku letakkan meja yang sudah terasa berat di tangan dengan hati - hati. Ku tempatkan diri di tiang tengah bangunan tersebut, sambil memulai mengetik ceritaku yang magkrak lama. Setengah jam berlalu, tapi gadis itu tak kunjung berpindah. Fokusku berpindah ke padanya, tak mampu lagi untuk berdialog dengan cerita. Dirinya amat tenang, hingga membuatku penasaran. “ Kira - kira apa yang didialogkannya?”pikirku keras sambil sesekali menghembus nafas. Ya, sama seperti dia yang hembusan nafas dalamnya dapat ku dengar beberapa kali. Beberapa kali hatiku membujuk untuk menyapanya, tapi agaknya pikiranku menghendaki hal lain. Ku biarkan dirinya hingga setengah jam ke depan. Dan, ya sama saja. Ia tak kunjung berpindah. 

“ Nai! ditimbali Bu Nyai”


Suara dari tangga hitam yang menghubungkan ndalem dan balkon tersebut membuatnya beranjak. Meninggalkan persinggahan yang satu jam lebih ia duduki. Langkahnya gusar menuruni tangga yang terbuat dari besi, hingga suaranya bagai guntur yang menyibak malam.


Gadis cantik itu bernama Naila. Naila Shirazaya. Setidaknya seperti itulah tulisan namanya. Dia adalah salah seorang santri ndalem sejak 3 tahun lalu, seingatku. Sebenarnya aku tak sering berinteraksi dengannya, hanya sesekali bertukar sapa saat ada urusan di ndalem. 


Kalau ku dengar dari gosipan anak - anak, Naila adalah sosok yang cerdas, tapi tertutup. Tercatat ia beberapa kali menjuarai perlomaan mewakili pesantren. Dia anak yang lugu dan tak neko - neko. Huh, indahnya mempunyai kepribadian seperti itu. Setiap kali ku lihat wanita yang tuturnya sopan, menundukkan pandangan, pula menjaga aurat dengan sempurna, hati nuraniku serasa tersindir keras. Tersemat sebuah kenangan yang hingga kini hanya jadi angan. Tapi ya sudahlah, ini adalah diriku yang sekarang. Dia tak banyak punya teman, bahkan banyak teman yang benci, sebab iri padanya. Kerap kali ia tak ditemani dan selalu jadi bahan peribincangan dan bullyan.  Ya, sebab ia selalu menjadi tokoh utama dalam event - event membanggakan. Tapi kalau dipikir - pikir, siapa pula yang tak iri dengan gadis seperti itu. 


Malam menyapa tiap - tiap insan yang kelelahan. Menyuguhkan ketenangan yang tiada tandingannya. Entah hangat atau dingin yang ia suguhkan, tetap saja malam selalu jadi tempat bersandar terbaik. Apalagi jikalau rembulan dan bintang ikut andil mengambil peran. Seperti malam ini, walaupun mendung mengepul dalam gelapnya malam, tetap saja aku suka malam. Walaupun rembulan dan bintang malam ini absen, aku tetap saja ingin memandanginya. Ku hirup udaranya yang mulai berbau tetesan hujan, pula angin yang berestafet menggerakkan ranting dan dedaunan. Dan apakah kau tau dari mana ku lakukan ritual malam ini? Yap, bingkai jendela balkon lantai dua. Gerimis sudah mulai berjatuhan, kilat menjadi pengganti bintang untuk menyertai malam. Dan beberapa menit kemudian, gerimis hilang, tergantikan derai hujan yang  berebutan mencium bumi. Guntur pun ikut serta memeriahkan pesta hujan malam ini. Lengkap sudah. 


Meditasi kali ini ku rasa cukup sudah. Ku raih gagang jendala untuk menutupnya, sebab beberapa kali rintik hujan telah menyapa wajah yang tak pernah ku lapisi skincare ini. Tapi seketika bulu kudukku berdiri. Merasakan ada sosok yang tiba - tiba mennatiku di belakang. Ragu - ragu badanku untuk berbalik. Membayangkan berbagai kengerian rupa horor yang sering ku lihat di sampul film. Jantungku berdegup cepat sekali, hingga lemas rasanya kaki ini ku gunakan untuk berdiri. “Ya Allah, tolong selamatkanlah hamba_Mu ini,” rapalku dengan perasaan campur aduk. 

“ Syek…syek..”


Tiba - tiba suara isak tangis memecah ketegangan ini. Dengan spontan ku balikkan badanku ke belakang bersama sambaran kilat dan guntur ku jumpainya dengan keadaan yang amat tak baik - baik saja. Wajahnya penuh dengan tangis dan bekasnya, mata indahnya kali ini membengkak merah bagai tak tidur semingguan. Tubuhnya tak berdaya, akhirnya tersungkur tepat sesaat setelah rangkulanku memeluknya. Ya, aku memeluknya. Ku peluk tubuhnya yang terduduk lemas erat - erat. Membenamkan tangisnya dalam tubuhku yang ringkih. Memuaskan tangis dan amarah yang sepertinya sudah tak sanggup lagi untuk dipendam. Tangisnya semakin keras dan dalam. Bersama tabuhan guntur dan irama hujan, tangisnya seakan jadi klimaks atas apa yang ia lalui. Sesekali ku dengar kata lelah yang ia rapalkan. Ya, kini aku paham Nai, kamu lelah. 


Jam dinding balkon sudah menunjukkan pukul 23.45 WIB. Lima belas menit lagi tengah malam. Hujan telah reda. Meninggalkan tetes air yang masih menggantung di atap rumah dan juga daun. Mendung telah sirna, purnama dengan gagahnya menempati poros malam. Sangat indah untuk dipandang oleh dua orang dari bingkai jendela yang berbeda. 

“ Istirahat Nai, sudah malam,” bujukku membuka percakapan. 

Tiada jawaban. Hanya hening. 

“Kau tak ingin berbagi cerita denganku Nai?”

Lagi - lagi tiada jawaban. Matanya fokus menatap keheningan malam. 

“ Ya sudahlah,” batinku dalam diri yang mulai beranjak untuk pergi. Mungkin dia butuh waktu untuk sendiri. 

“ Sejatinya manakah yang benar. Hal yang baik atau buruk ?”


Pertanyaannya membuat langkahku berhenti. Sontak ku berbalik arah dan memandanginya yang masih diam tak berkutik. Ku benarkan dudukku di sampingnya. Bersiap mendengar dan menjawab pertanyaan yang akan muncul lagi. 


“ Setiap hari aku selalu berdoa agar hidupku barokah Mbak. Aku ingin sekali menjadi hamba yang dekat dengan Allah. Dan seperti inilah kehidupan yang ku rasai. Ada duka pula suka, sama seperti kehidupan orang - orang. Njenengan tahu mbak, setiap aku lelah, aku punya masalah, aku selalu datang ke sini melihat - lihat alam dari sepetak bingkai jendela ini. Aku juga sering menangis di sini,” kalimatnya menggantung. Seakan memberi jeda bagi nafasnya yang masih terengah. 


“Di saat aku menangis, aku senang mbak, karena aku merasa lebih dekat dengan Allah. Setidaknya ku sebut nama_Nya di setiap ratapanku. Sampai pernah terbesit pertanyaan dalam pikiranku,sejatinya mana yang baik antara nikmat dan musibah, jika dengan musibah kita bisa lebih dekat dengan Allah? Setelah itu aku percaya bahwa semua musibah itu menyenangkan, kita hanya perlu tenang untuk menghadapinya,” ceritanya terputus lagi. Kali ini bisa ku lirik matanya yang mulai berkaca - kaca. Ku lirik dirinya dengan sedikit senyuman kenangan masa lalu. 

“ Tapi nyatanya sekarang aku lelah Mbak.” ucapnya sambil menangis. 

“ Aku lelah sama semua ini Mbak, aku pengen menyerah. Aku pengen pergi dari sini.” tuturnya sembari menangis lagi. Kali ini  derunya lebih deras.


Ku rangkul tubuh mungilnya dari belakang. Ku usap ubun - ubunnya yang dibalut jilbab biru muda. Ku biarkan dia merampungkan tangisnya. Sesak memang. Dan tanpa sadar mataku ikut menumpahkan air mata. 


“ Nai, dengarkan mbak ya… Sejatinya kehidupan adalah tentang bagaimana kita mengabdi. Tentang bagaimana kita menjalankan hidup kita sebaik - baiknya sebagai abdun. Memang lelah Nai, lelah. Semua orang tahu tentang itu bukan? Dan pastinya juga denganmu,” ku gantungkan penjelasanku sebentar, memeberinya ruang dan waktu untuk membuka pikiran. 


“ Tapi ada satu hal yang tak banyak diketahui orang - orang Nai,” ku jeda kalimatku. Sontak ia melihatku. Terlihat antusias. 


“ Terkadang kita lupa Nai, bahwasanya dalam menjalankan segala takdir yang ada, kita perlu komponen ikhlas. Hati kita senantiasa berontak bukan jikalau kita punya masalah? Kita selalu merasa menjadi manusia yang paling tersakiti bukan? Dan parahnya lagi, kita selalu merasa kalau apa yang jadi pikiran kita adalah yang paling baik untuk kita.” 


Tatapannya padaku berubah menjadi wajah yang meunduk. “ Kalau begitu mengapa ikhlas begitu susah untuk dilakukan Mbak?”

 

Ku tersenyum mendengar pertanyaan darinya yang sudah ku duga. “ Sebab keikhlasan itulah, yang akan membedakan kita dengan orang lain. Begitu banyak kejutan, barokah, pula kebaikan yang tersembunyi di baik pahitnya ikhlas Nai.”


“ Lalu apa dengan aku menangis seperti ini aku menjadi orang yang tidak ikhlas dengan apapun masalah yang diganjarkan Allah padaku?” tanyanya cemas. 


“ Mungkin,” jawabku sambil tersenyum nakal. Jawaban yang membuat muka manyunnya menatapku sekali lagi. 

“ Hahaha, sudahlah Nai, perihal ikhlasmu, hanya engkau dan Allah yang tahu. Juga perihal ikhlasnya mbak. Tapi satu hal yang ingin ku katakan, andai kamu belum bisa ikhlas sepenuhnya, jangan pernah tampakkan ketidakikhlasanmu itu ada pada dirimu.”


Ya, tak semua orang bisa langsung ikhlas dan ridho terhadap hal - hal yang terjadi padanya bukan? 

Jam dinding balkon sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Sudah lewat tengah malam. Tapi malam ini, aku dan Naila, lebih memilih bercerita di tengah heningnya malam. Dan benar saja, kini balkon lantai dua ini memiliki tuan barunya. Dan mesranya lagi, sepasang bingkai jendela telah menemukan pendialognya. Dua insan yang kerap menjadikannya perantara berdialog untuk Allah, sembari menyambut senja, pula menghabiskan malam yang ia suguhkan. 

“ Nai Nai, apa yang sedang kau lihat di depanmu?”

“ Malam, purnama, dan satu lagi, sinarnya,” jawabnya ragu - ragu. 

“ Masa sih? Tapi kenapa aku hanya melihat malam dan sinar purnama. Aku tak bisa melihat purana itu sama sekali,” jawabku dengan eskspresi penuh yakin. 

“ Masa sih Mbak?” Ia pun kebingungan denag jawabanku sambil mengotot bahwa malam ini ada purnama yang menggantung. 

Tanpa bicara, ku minta ia untuk melihat langit dari posisiku. “ Bagaimana?” 


Naila hanya diam sambil menggigit bibir. “ Nah,seperti itulah manusia Nai, penuh dengan keterbatasan pengetahuan, teruatama pengetahuan batin. Sama seperti bingkai jendela ini. Ada sisi yang membatasi penglihatan manusia dengan manusia lain.” 


“ Kau tak perlu risau terlalu sekarang. Asal kau benar, kaulah pemenangnya. Pemandangan lain, atau pandangan orang, hanyalah sebagai penghias dan boleh sekali - kali kita kagumi dan jadikan pelajaran.” 


Dia pun mengiyakan apa yang aku katakan dengan aggukannya. Sekali lagi, bingkai jendela ini setidaknya jadi penawar ketenangan jiwa. Ya, setelah jiwaku yang hampir sirna. 

Oleh : dinazada 


0 Komentar