Santri; Antara Fungsi dan Gengsi

 

Beberapa waktu terakhir, sering kita menjumpai sekian santri dengan keragaman karakteristiknya. Ada yang mencerminkan simbol- simbol kepesantrenannya, ada pula yang acap kali tidak representatif sama sekali dengan cerminan kepesantrenan. 

Tipe santri yang pertama, adakalanya ia memang benar-benar berpola hidup ala santri secara permanen, adakalanya juga yang mencerminkan hidup ala pesantren secara temporal saja. Sedangkan tipe santri yang kedua, ada yang menjalankannya karena sebuah pilihan hidup. Ada juga yang melakoni kebiasaannya tersebut karena ia tidak mempunyai standar acuan sebagai santri.

Masing masing mereka memiliki konsekuensi yang berbeda-beda. Pada dasarnya, santri tidak bisa terlepas dari tiga dimensi Primer. Dimensi spiritual, dimensi intelekual dan dimensi sosial. Ketiga dimensi tersebut harus dimiliki seorang santri secara bersamaan. Seorang santri yang hanya menonjol dimensi spiritualnya saja, akan terkesan kuper (kurang perhatian), individualis, dan egois. Sedangkan  seorang santri yang hanya menonjol dimensi intelektualnya saja, seringkali mengalami perwatakan arogansi tanpa disadarinya, Santri yang hanya menonjol dimensi sosialnya saja, seringkali mengabaikan kebutuhan pribadi, meskipun ia supel dan solider terhadap orang lain. Oleh karenanya, tiga dimensi primer tersebut harusnya menjadi paradigma berfikir santri.

Dimensi spritual artinya: bagaimana seorang santri mempunyai jalinan hubungan yang baik dengan Tuhannya. la sanggup memproporsikan dirinya sebagai hamba dan makhluk yang senantiasa taat santri dan beribadah pada Allah Subhanahu wa ta'ala. Adapun dimensi intelektual artinya: seorang santri seharusnya memiliki standar ilmiah dan terbiasa dengan analisa kritis terhadap segala sesuatu yang ditemukan di setiap kehidupannya. Berawal dari kesadaran diri akan rasa "tidak tahu kemudian ingin tahu" kemudian "mencari tahu dan pada akhirnya "ia tahu". Namun itu belum cukup. la harus melakukan studi komparatif (melakukan perbandingan dengan cara berdiskusi, berdialog, bermusyawarah, baik secara formal maupun informal). Tanpa disadari, inilah yang akan membentuk karakter pemikiran santri, bahwa pembicara yang baik ialah pendengar yang baik pula. Sedangkan dimensi sosial artinya: seorang santri seharusnya menanamkan prinsip pada dirinya, bagaimana agar dia senantiasa bermanfaat untuk lingkungannya, baik sesama manusia, maupun sesama makhluk lain secara umum. Sudah barang tentu, standar akhlak karimah menjadi parameter cara bergaul seorang.

Ada pun problematika santri yang seringkali kita temui sekarang ini, ia hanya mengejar formalitas statusnya saja. Santri tidak menampilkan dirinya secara fungsi, melainkan lebih menitikberatkan pada sisi gengsi. Semua ini terjadi disebabkan antara lain karena santri tidak concern pada tiga dimensi di atas, secara spiritual dia tidak mampu merasakan kehadiran Allah di semua aktivitas kehidupannya,sehingga ia sering berperilaku ngawu keluar dari norma norma agama, atau secara intelektual dia gagal memahami ajaran agama islam, sehingga berakibat pada dekadensi moral yang bisa merusak tatanan sosial yang ia terlibat di dalamnya.

Terakhir, jika disuruh memilih antara sisi fungsi dan gengsi, santri ideal menurut saya adalah santri yang tidak hanya terbungkus status mau pun kostum santri saja, melainkan santri ideal harus siap menghamba kepada Tuhannya, disertai kesadaran merasakan kehadiran-Nya di setiap langkah dan lakunya Senantiasa berfikir kritis akan setiap hal yang membersamai proses belajarnya, sehingga terbentuklah karakter pemahaman yang valid dan bisa dipertanggung jawabkan. Tidak hanya sekedar berwawasan potongan potongan pengetahuan yang tidak referensial dan cukup diperdengarkan tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. Karena jika demikian, meskipun ia tahu banyak hal, tetap saja ia tidak bijaksana memahami persoalan secara utuh. Dari situlah dibutuhkan kesadaran akan urgensitas budaya diskusi dan musyawarah. Dan lagi, santri ideal akan senantiasa berdinamika secara aktif dalam hidup bersosial, dengan menanamkan prinsip manfaat dan selalu siap berdaya saing yang komunikatif serta berdaya saing yang kompetitif Sekian, Wallahu Alam bis shawwab.

•Penulis adalah salah satu pengajar di Perguruan Islam Mathali'ul Falah. (Khoirul Azhar, Lc) 

0 Komentar