Penyakit Malas Mahasiswa

 


Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi tingkat sekolah seseorang, mulai dari sekolah dasar dan kemudian sekarang menjadi mahasiswa. Maka, semakin mempunyai beban akademik dan tanggung jawab lain. Tugas mahasiswa, sekarang bukan lagi tentang karya karya tingkat dasar seperti pantun dan puisi, tapi lebih pada pengembangan tulisan akademik baik itu makalah, skripsi, artikel dan jurnal penelitian. 

Sering sekali saya dicurhati oleh salah seorang dosen yang mana berkali kali ia menasehati bahkan memarahi mahasiswa tingkat akhir yag membuatnya judheg, dikandani bola bali ora ngefek. Menyelesaikan skripsi pun harus menunggu semester sepuluh. 

Realitanya memang benar, ketika seseorang berstatus sebagai mahasiswa, lulus kuliah sampai menunggu lebih dari semester 8 dapat masuk dalam dua kategori. Pertama, bisa dibilang memang tidak mau mengerjakan tugas  atau yang kedua, malas mungkin mau menjadi Donatur tetap dikampus sampai akhirnya di DO (drop out).

Bagi saya sendiri yang masih menduduki status mahasiswa semester 7, ketika seseorang memilih kuliah, mondok, ngaji dan pilihan lain, semua mempunyai konsekuensi nya sendiri, prihatin istilahnya . Seperti yang pernah kiai saya sampaikan dalam halaqoh ilmiah dulu; “golek ilmu kui ya rekoso. Nek ora rekoso ya ora ilmu judule".  Belajar di manapun memang harus rekasa, fokus, bahkan sederhannaya membaca saja harus fokus termasuk anda yang membaca tulisan ini.

Jika tidak fokus ya harus diulangi lagi agar faham. Jika seseorang belajar di luar Pendidikan formal mungkin bisa sekarepe dewe, namun ketika sudah berada dalam Pendidikan formal tentunya harus mentaati aturan. Aturan menulis makalah, jurnal, skripsi dan yang sangat sederhana deadline mengumpulkan tugas.

Potret Malas

Dikelas saya memiliki teman  yang terjangkit virus kesed atau malas. Virus yang menjadi sindrom bagi saya sendiri dan teman teman lainya. Kuliah malas, nggarap tugas malas.  "Ngko" menjadi pola pikir mereka. Sehingga SKS atau sistem kebut semalam menjadi jurus andalan mahasiswa sampai akhirnya muncul kejahatan intelektual hee. Makalah plagiat, artikel copy paste. Sampai proposal penelitian juga hasil dari plagiasi, duplikasi, fabrikasi dan faksifikasi. 

Kemalasan tersebut membuat saya menyimpulkan bahwa malas tak hanya melahirkan kebodohan saja. Namun kemalasan yang dipupuk mahasiswa akan menimbulkan kejahatan, yap kejahatan intelektual yang mengenaskan. Toh sejak menjadi siswa dibangku sekolah formal semua telah dijelaskan oleh bapak ibu guru bahwa rajin itu pangkal pintar dan malas pangkalnya bodoh. Misalkan saja ada mahasiwa yang tidak mengerjakan tugas apakah karena tidak bisa? malas? sibuk? alasan aktivis dll? Sudahlah, semua tergantung bagaimana cara mahasiswa  mengatur waktu. 

Kuliah itu Mencari Ilmu

Kuliah, sekolah dan mondok semua sama sama mencari ilmu, dan ada tingkat rekasane masing masing. Pada hakikatnya, kuliah bukan sekadar mencari ijazah atau gelar belaka, namun kuliah merupakan “wahana” seseorang dalam mencari ilmu. Kenapa demikian? karena Nabi Muhammad sudah menganjurkan hal itu, bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib, mulai manusia turun dari ayunan hingga ke liang lahat (mati). Artinya, orientasi duduk di perguruan tinggi harus diluruskan untuk mencari ilmu.

Niat merupakan keniscayaan sebelum menjalankan segala sesuatu, termasuk ketika melanjutkan ke perguruan tinggi. Tanpa niat lurus, langkah dan gerak kita akan mudah terombang-ambing dan tak terarah. Maka dari itu, orientasi duduk diperguruan tinggi harus kita luruskan untuk mencari ilmu.

Mengenai hal ini, Syaikh Az-Zarnuji di dalam kitabnya ta'lim mutaallim menuliskan sebuah syair dari Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang artinya: “Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memenuhi enam syarat. Saya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci. Yaitu: Kecerdasan,  kemauan,  sabar,  biaya, bimbingan guru dan waktu yang lama.”

Selain niat,  seseorang yang mencari ilmu harus cerdas, selalu berusaha, tekun dan mempunyai kemauan yang kuat, adanya biaya,  guru dan waktu mencari ilmu. Kuliah ya kuliah, tapi didalamnya mahasiswa harus mempunyai jiwa khirs dalam mencari ilmu. Bisa dengan membaca, berdiskusi di kelas, pergi ke perpustakaan untuk membaca dan menherjakan tugas, atau bisa juga mengikuti organisasi kampus yang tentunya memberikan manfaat bagi mahasiswa. 

“Ilmu itu didapat dengan mempelajari (العلم بالتعلم). Begitu pun kuliah, cara mendapat pengetahuan bisa dilakukan dengan belajar, membaca, memahami dan fokus dan kalau tidak tahu hendaknya bertanya karena bertanya adalah kunci ilmu. Bukankah seperti itu sobat kampus?

Jika kita rajin, kita dapat sejajar dan memiliki kesempatan untuk melebihi orang cerdas. Jika kita malas, sepandai apapun kita, maka akan terbalap oleh orang bodoh yang rajin. Ironisnya, jika Anda sudah tidak cerdas, tidak rajin, malah bermalas-malasan. Lah, mau jadi apa nantinya? Padahal katanya Mahasiswa adalah agen of change, bagaimana bisa maju kalau dirinya sendiri malas menuntut ilmu. 

Kesuksesan akademik tidak hanya ditentukan dari kecerdasan intelektual saja. Namun juga keinginan kuat, rajin, istiqamah dalam melawan kebodohan dengan membuang jauh dan meninabobokkan malas.  Kecerdasan intelektual tidak menjadi penentu utama kesuksesan, melainkan dititik beratkan pada kecerdasan emosional dan spiritual yang diimbangi dengan ketekunan.

Jika memang memilih malas, ya silahkan. Hidup ini pilihan. Rumusnya adalah man jadda wajada, tsabatul ilmi bil mudzakaroh. 

Hikmah Lailatul Kamalia, mahasiswi PGMI IPMAFA 







1 Komentar

  1. Koreksi kak, sejak Sd saya diajari kalo Rajin itu pangkal pandai, bukan pangkal kaya. Biasanya, Hemat yang pangkal kaya. 😁

    BalasHapus