Dalam suatu perkopian yang cerah, saya bertemu teman alumni pondok saya yang membaca buku Sejarah Tuhan-nya Karen Amstrong. Buku ini membahas persepsi manusia akan Tuhan dari aspek historis dalam tiga agama samawi paling besar di dunia, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Melihat judulnya yang sekilas agak rancu untuk santri seperti kami -ya masak Tuhan yang memiliki sifat qadim itu punya sejarah-, teman saya menegur saya, “Kue ora khawatir moco buku-buku ngeniku, lur? Aku kok wedi nek duwe pemikiran aneh-aneh.” (Kamu nggak khawatir membaca buku-buku seperti itu, lur? Aku kok takut kalau punya pemikiran aneh-aneh).
Tulisan ini akan mencoba sedikit menjawab persepsi yang agaknya masih banyak dirasakan di kalangan santri, melalui khazanah keilmuan santri itu sendiri. Sebenarnya kita tidak harus khawatir saat membaca buku aneh-aneh dan takut punya pemikiran yang menyimpang. Ini bukan dari ucapan saya sendiri, tapi dari ngendikan Kiai besar Nahdlatul Ulama’ “KH. Ali Maksum Yogyakarta”. Dilansir oleh aplikasi NU Online, beliau ngendikan: “Kalau (santri mau) membaca buku yang macam-macam, nanti akan menjadi NU yang matang.”
Ngendikan tersebut memantik jiwa saya, yang kebetulan juga menjadi santri di pesantren yang didirikan oleh salah-satu santri terbaik beliau di Kotagede. Dalam tulisan ini saya akan coba mengelaborasi ngendikan itu dengan keteladanan beliau dan kiai-kiai pesantren lain, serta mengkorelasikanya dengan kondisi pendidikan di pesantren.
Saya lebih memilih menggunakan tema “masyarakat Islam”, karena melihat bila ngendikan itu diamalkan oleh para santri, tidak hanya NU yang akan merasakan dampaknya, tetapi masyarakat Islam secara umum pula. Apalagi kekuatan dan potensi NU sendiri bukan kaleng-kaleng. Dalam suatu dialog antara Budayawan Emha Ainun Najib dan putranya, Sabrang (Noe Letto), dikatakan bahwa NU bersama Muhammadiyah merupakan masa depan bangsa, yang bila keduanya bersatu, permasalahan-permasalahan bangsa insya Allah akan menemukan solusinya.
Celah Pendidikan Pesantren
Tidak bisa dipungkiri, pesantren merupakan denyut Nahdlatul Ulama. Pesantren menjadi sistem pendidikan yang menjadi keunggulan dan ciri visi pendidikan NU. Sejak awal berdirinya, NU diinisiasi oleh kiai-kiai pesantren. Bahkan pada mulanya, NU merupakan organisasi eksklusif bagi kiai-kiai pesantren saja. Karena itu, NU terkait erat dengan dinamika pesantren.
Sistem pendidikan pesantren cenderung fokus pada pendidikan agama. Dalam kurikulumnya, pesantren biasanya memprosentasi 70% untuk pendidikan agama, dan 30% untuk pendidikan umum. Pembagian ini membuat ilmu-ilmu seperti biologi, fisika, kimia, sastra, sosiologi, psikologi, matematika, filsafat dan sebagainya, kurang mendapatkan porsi yang cukup dalam kurikulum pesantren. Padahal, bila ingin berbicara tentang peradaban dunia, santri membutuhkan ilmu-ilmu tersebut sebagai perangkat untuk mencapainya, walau modal utama dan originalnya tetap bersumber dari pendidikan kitab kuning.
Pesantren mesti memikirkan bagaimana cara menembel celah kekurangan dalam sistem kurikulumnya itu, tanpa menghilangkan kekhasanya dalam pendidikan agama. Saya rasa, solusi pragmatisnya tidak harus mengurangi porsi pendidikan agama di pesantren, yang memang membutuhkan porsi yang besar untuk mengader ulama. Tapi cukup dengan mendorong santrinya membaca buku bermacam-macam genre sebagaimana yang dingendikankan oleh KH. Ali Maksum, dan mendukung santri yang berpotensi untuk melanjutkan pendidikan kuliah di jurusan ilmu-ilmu umum. Tentu, ini memiliki konsekuensi bagi pesantren agar menyediakan perpustakaan dengan koleksi buku yang cukup untuk mewujudkanya.
Teladan Kiai dalam Membaca Buku Macam-macam
Kiai-kiai pesantren banyak memberi
keteladanan pentingnya membaca buku bermacam-macam genre, yang bukan hanya
terkait kitab kuning saja. Ini bisa dilihat dari biografi, cerita-cerita,
pengajian, dan kiprah para kiai-kiai tersebut. KH. Baha’uddin Nursalim, Rais
Syuriah PBNU yang ngajinya digandrungi para santri dan mahasiswa dari berbagai
kalangan di Youtube itu pernah ngendikan, “Saya mohon, siapapun yang mencintai
agama ini harus banyak membaca.”. Dalam ngajinya pun, Gus Baha’ beberapa kali
mengutip buku selain kitab kuning, seperti A History of God/Sejarah Tuhan-nya Karen Amstrong (ya, ini buku sama yang membuat saya
ditegur teman saya sebagaimana yang saya ceritakan di atas) dan jurnal bertajuk
Can Exposure to Celebrities Reduce
Prejudice? The Effect of Mohamed Salah on Islamophobic Behaviors and Attitudes.
Teladan
selanjutnya datang dari kiai besar yang juga mujadid NU, KH. Abdurrahman Wahid.
Akan sungguh kelewatan, bila menuliskan keteladanan kiai dalam membaca tanpa
menyebut beliau. Sejak kecil, beliau tinggal di rumah yang penuh koleksi
buku-buku ayahnya, KH. Wahid Hasyim. Saat nyantri di Tegalrejo asuhan KH.
Chudori, waktu itu usia beliau sekitar 17 tahun, sudah sering membaca buku-buku
penulis Barat, seperti Das Kapital-nya Karl Marx (Greg Barton, 2002) dan
The Holy Qur’an (ceramah KH.
Bukhori Masruri), serta juga membaca buku yang dianggap menghina Kanjeng
Nabi, The Satanic Verses-nya Salman Rushdie secara cepat. Gus Dur juga
yang memperkenalkan buku-bukunya Hasan Hannafi pada aktivis muda NU waktu itu (Savic Ali, 2022).
Teladan
itu juga datang tidak jauh dari kita. Tokoh besar NU yang juga pendiri Institut
Pesantren Mathali’ul Falah, KH. Sahal Mahfudh mendorong santri-santrinya untuk
gila membaca. Ngendikan beliau yang masyhur, “Seseorang mulai bodoh,
saat berhenti membaca.”. Saat nyantri di Bendo, beliau sudah aktif membaca
koran,buku dan majalah. Dari berbagai sumber bacaan itulah, beliau mengenal
teori pemberdayaan masyarakat, yang kemudian beliau terapkan dalam kiprah
beliau menginisiasi Kelompok Swadaya Masyarakat, BPR Artha Huda Abadi, Panti
Asuhan Darul Hadhonah, RSI Pati, yang banyak membantu kegiatan sosial ekonomi
masyarakat sekitar Kajen (Kiai
Imam Aziz, 2022).
Kiai-kiai di atas, rata-rata tidak menempuh pendidikan dasar maupun tinggi dalam jurusan ilmu umum. Pendidikan beliau-beliau sepenuhnya ditempuh di pesantren. Tapi mengapa pemikiran beliau dalam ranah sosial dan humaniora bisa diterima dan dapat berdialektika dengan intelektual-intelektual jebolan kampus ternama? Menurut saya kuncinya ada pada kegandrungan beliau pada membaca. Membaca buku dengan genre apa saja. Tidak sebatas kitab kuning saja.
Dengan luasnya wawasan yang didapatkan dari buku-buku tersebut, beliau kemudian bisa mengembangkan dan mendinamiskan pemahaman akan agama yang didapatkan dari kitab kuning. Beliau-beliau saya rasa sudah meneladankan dan menjadi bukti dari ngendikan Kiai Ali Maksum yang dikutip di atas. Bagaimana NU telah berkembang dan matang saat dipimpin oleh beliau-beliau. Tinggal sekarang tugas kita, para santri yang juga dapat privillage sebagai mahasiswa, untuk meneruskan keteladanan tersebut.
Nuzula Nailul Faiz,
Alumni Perguruan Islam Mathali’ul Falah 2019
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Teman Pimpinan Umum LPM Analisa
0 Komentar