KH. Hasyim Asy’ari merupakan sosok ulama yang karismatik. Ia adalah pendiri organisasi Nahdltul Ulama yang sampai saat ini eksis memperkuat eksistensi Islam Nusantara atau Islam Moderat. Ia dikenal sebagai ulama yang tidak hanya cinta terhadap agama Islam dan kedalaman ilmunya, tetapi ia juga dikenal sebagai ulama yang memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Prestasi ini tidak lepas dari peran para guru dalam membimbing dan mengajarkannya ilmu-ilmu agama di samping mendidiknya dengan laku yang identik dengan laku Rasulullah Saw.
Salah satu guru KH. Hasyim Asy’ari yang masyhur adalah KH. Sholeh Darat. Gurunya tersebut merupakan sosok ulama yang juga memiliki semangat kebangsaan yang tinggi, selain dari pada sosok ulama yang terkenal sebagai ahli ilmu Falak, ilmu Nahwu dan Shorof.
Dakwah merupakan aktivitas yang semakin menarik untuk diulas kembali tentang bagaimana cara yang baik untuk mengajak manusia kepada jalan yang terang, karena belakangan ini semakin marak ajakan dakwah dengan berbagai media bahkan sampai ada yang memaksakan bentuk keislaman secara kaffah dengan menawarkan konsep negara khilafah yang berbasis aturan-aturan Islam. Hal ini menjadi polemik bagi pemuda muslim dalam menentukan, memilah dan memilih mana ajaran Islam yang benar-benar bersumber dari Rasulullah Saw. dan mana ajaran Islam yang dijadikan kedok politik bagi kelompok orang tertentu. Maka dari itu, pembahasan mengenai pola-pola dakwah yang dilakukan oleh ulama terdahulu, seperti KH. Sholeh Darat dan KH. Hasyim Asy’ari serta keidentikan yang diduga sebagai pengaruh pemikiran dakwah KH. Sholeh Darat terhadap pola dakwah yang diterapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari ini sangat menarik untuk diulas.
Dengan tujuan menjaga dan merawat kembali sejarah yang mulai usang dan tertumpuk, tulisan ini berusaha menyajikan kembali pola-pola dakwah kedua ulama tersebut yang masih terdapat hubungan sebagai guru dan murid, agar dapat diteladani kembali oleh para pemuda muslim bahwa dulu proses penyebaran Islam di Nusantara tidak serta merta dipaksakan sehingga menghilangkan budaya-budaya setempat, namun Islam hadir dengan pendekatan tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat tersebut.
Biografi KH. Sholeh Darat
Riwayat Keluarga
KH. Sholeh Darat memiliki nama asli Muhammad Sholeh bin Umar al Samarani. Kata “Darat” merupakan laqab yang disematkan pada namanya karena ia tinggal di suatu kawasan yang bernama “Darat” di wilayah Semarang.
KH. Sholeh Darat dilahirkan di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah pada sekitar tahun 1820 M. Pada sumber lain menyebutkan bahwa ia dilahirkan di wilayah Bangsri.
Ia dilahirkan di keluarga yang alim dan cinta tanah air. Kiai Umar adalah nama ayahnya. Beliau merupakan tokoh ulama yang cukup masyhur di wilayah pantai utara Jawa. Kiai Umar juga merupakan seorang pejuang perang Jawa, sekaligus orang kepercayaan Pengeran Diponegoro. Bersama kawan dan santri-santri, Kiai Umar membela dan mempertahankan kehormatan tanah air dari jajahan Belanda.
Riwayat Keilmuan
Pendidikan pertama beliau diperoleh langsung dalam lingkungan keluarga bersama ayahnya yang sebagai seorang ulama. Karena Kiai Umar dipercaya penuh oleh Pengeran Diponegoro untuk mengkoordinir gerakan jihad di pantai utara Jawa, sehingga rumahnya sering dijadikan sebagai tempat perkumpulan teman-teman seperjuangan. Dari sinilah Sholeh kecil mendapatkan kesempatan untuk belajar kepada teman-teman seperjuangan ayahnya yang juga merupakan para kiai terpandang. Di atara guru-guru Sholeh kecil yaitu, Kiai Hasan Besari, Kiai Syada’, Kiai Darda’, Kiai Murtadla dan Kiai Jamsari.
Pada usia remaja, ia melanjutkan belajar ke daerah Pati, Jawa Tengah. Tepatnya ia belajar kepada Kiai M. Syahid yang mengasuh Pesantren Waturoyo, Margoyoso, Kajen, Pati. Kiai M. Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup pada masa Paku Buwono II (1727-1749 M). Ia belajar beberapa kitab Fiqih kepada Kiai M. Syahid, seperti kitab Fath al Qarib, Fath al Mu’in, Minhajul Qawim, Syarh al Khatib, Fath al Wahab dan sebagainya.
Selain itu, ia juga sempat “nyantri kalong” kepada beberapa ulama terpandang di Semarang. Ia belajar Nahwu dan Sharaf kepada Kiai Ishak Damaran Semarang, belajar Ilmu Falak kepada Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Baquni, seorang mufti di Semarang, mengaji kitab Jauhar al Tauhid dan Minhaj al Abidin kepada Kiai Ahmad Bafaqih Ba’alawi Semarang dan mengaji kitab al Masail al Sitiin kepada Syekh Abd al Ghani Bima, Semarang.
Ia juga sempat mendalami ilmu agama kepada Kiai Ahmad Alim, Bulus, Gebang, Purworejo dengan mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ajaran tasawuf dan tafsir al Qur’an.
Dari paparan tersebut menunjukkan bahwa KH. Sholeh Darat merupakan sosok yang giat dan gigih dalam menuntu ilmu agama dan juga mendalaminya. Hal ini juga menunjukkan kepakaran dan kapasitas keilmuan yang dimiliki oleh KH. Sholeh Darat.
Setelah mendapatkan pembelajaran agama di wilayah Jawa, ia diajak ayahnya untuk berhaji ke Mekkah. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Kiai Umar wafat di Mekkah dan dimakamkan di sana. Kemudian, Sholeh dewasa memutuskan untuk melanjutkan belajar ilmu agama kepada pada ulama yang masyhur di Mekkah kala itu. Di sana ia belajar kepada ulama-ulama terkenal tentang berbagai kitab-kitab fenomenal seperti : Ihya Ulumuddin, al Hikam dan juga tafsir al Qur’an. Ia juga di sana berhasil mendapatkan ijazah kitab-kitab besar dan masyhur dari para ulama.
Kontribusi dalam Mencetak Generasi
KH. Sholeh Darat mendapatkan kesempatan mengajar di Mekkah beberapa tahun bersama kawan seperjuangannya. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia karena panggilan kecintaanya terhadap tanah air, tanah kelahirannya sekaligus karena ajakan Kiai. Hadi Girkusumo yang membujuknya untuk pulang dan mengembangkan Islam di wilayah Nusantara. Dari bujukan tersebut, akhirnya KH. Sholeh Darat setuju untuk pulang ke tanah air dan mengembangkan islam di tanah air setelah sebelumnya harus berurusan kepada Penguasa Mekkah yang mengikatnya.
Keputusan KH. Sholeh Darat untuk pulang ke tanah air telah berkontribusi besar dalam mencetak kader-kader ulama selanjutnya. Mereka membawa gerbong besar dalam upaya perluasan dan kemajuan dakwah islam, di antara santri-santri beliau yaitu : KH. Hasyim Asy’ari yang mendirikan gerbong besar Nahdhatul Ulama, KH. Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyyah dan juga Kartini yang terkenal dalam dunia pendidikan perempuan.
Menulis Karya dan Keunikan Karyanya
KH. Sholeh Darat merupakan ulama yang memiliki karya kitab keilmuan yang banyak. Ia produktif dalam menulis kitab yang berhubungan dengan ilmu-ilmu agama. Kitab yang ia tulis memiliki keunikan tersendiri, seperti penggunaan bahasa lokal yang mudah diterima oleh orang-orang Jawa. Kitab-kitabnya ditulis dengan tulisan pegon yang menjadi citra kearifan lokal dalam strategi dakwah yang ia gunakan. Adapun di antara karya-karyanya yaitu : Majmu’at as Syari’at al Kafiyat li al Awam, Munjiyat Metik Saking Ihya Ulum ad Din al Ghazali, Matan al Hikam, Lathaif al Taharat, Manasik al Hajj, Pasolatan, dan sebagainya.
Selain itu, keunikan yang terdapat dalam karyanya yaitu bahwa ia selalu mempertimbangkan penerima kitab atau pembaca yang merupakan orang-orang awam dalam urusan agama. Ia menjadikan isi kitab yang ditulis sebagai corak kearifan lokal dalam memahami masyarakat yang masih membutuhkan pemahaman ilmu agama yang paling dasar dan mudah dipahami.
Konsep dan Pola Dakwah dalam Pandangan KH. Sholeh Darat Melalui Berbagai Karyanya
Dalam sebuah jurnal yang berjudul “Jejak Islamisasi Jawa oleh KH. Sholeh Darat (Studi Kasus Naskah Kitab Syarah al Hikam)” yang ditulis oleh Muhammad Abdullah berusaha menarik kesimpulan bahwa islamisasi Jawa yang dilakukan oleh KH. Sholeh Darat melalui penerjemahan kitab-kitab Arab ke dalam bahasa Jawa merupakan wujud kongkert penyederhanaan metode dakwah yang menghormati tradisi dan bahasa Jawa sebagai bahasa lokal yang telah membudaya.
Karya-karya KH. Sholeh Darat ditulis dalam bentuk aksara Arab Pegon yang sebagai bentuk dakwah menyebarkan agama islam dan mencerahkan masyarakat dengan kearifan lokal. Dari karya-karya tersebut menunjukkan bahwa konsep dakwah beliau mengandung pendekatan secara lembut dan kreatif dengan memahami kultur budaya yang terdapat pada masyarakat Jawa. Selain itu, pada karya yang berjudul Sabilul ‘Abid ala Jauharat at Tauhid ia menuliskan dalam muqaddimahnya bahwa tujuan utama penulisan kitab tersebut yaitu agar dapat bermanfaat bagi orang awam yang tidak mengerti bahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berdakwah ia tidak memaksakan keilmuan islam harus diajarkan dalam bahasa Arab, namun hal ini dimaksudkan agar orang-orang awam yang tidak mengerti bahasa Arab bisa tetap mempelajari keilmuan islam baik yang paling dasar maupun yang paling dalam.
Dalam kitab Lathaif at Thaharah wa Asrar Shalah karya KH. Sholeh Darat yang ditulis pada tanggal 27 Sya’ban 1307 H juga menunjukkan bahwa ia mendukung praktik amaliah-amaliah yang pada saat ini sering dilakukan oleh kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah an Nahdhiah. Amaliah-amaliah tersebut diterangkan dalam kitab ini berupa pembacaan do’a awal tahun hijriah dan do’a akhir tahun hijriah.
Selain itu, karya-karya beliau juga banyak yang membahas mengenai penyucian jiwa, kebersihan hati, hakikat, hikmah, mahabbah kepada Rasulullah Saw. dan ilmu-ilmu agama islam yang berbicara tentang tasawuf dan hakikat lainnya, ilmu al Qur’an dan tafsirnya serta ilmu-ilmu dasar islam yang disajikan dengan memposisikan pembaca sebagai orang-orang awam yang sangat membutuhkan cahaya keilmuan islam. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan dakwah yang ia lakukan adalah da’wah bi al Rahmah. Sebagaimana dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. kepada umatnya. Hal ini juga sebagaimana firman Allah Swt. di dalam al Qur’an yang artinya :
“ Dialah (Allah) yang telah mengutus seorang Rasul kepada kaumnya yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al Jumuah : 2).
Pengaruh Pemikiran Dakwah KH. Sholeh Darat Terhadap Karakteristik Pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari dalam Berdakwah
KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh sentral yang sangat masyhur sebagai ulama yang memiliki kedalaman ilmu agama maupun semangat kebangsaan yang tinggi dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia di bawah jajahan Belanda dan Jepang dan dalam upaya mempertahankan keutuhan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Prestasi yang berhasil diraih oleh KH. Hasyim Asy’ari tersebut tentunya tidak terlepas dari peran guru-gurunya yang telah mengajarkan berbagai ilmu maupun laku sebagaimana orang yang memiliki kedalaman ilmu. Salah satu gurunya yang memiliki pengaruh terhadap pola dakwah yang diterapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam mendakwahi masyarakat Jawa adalah KH. Sholeh Darat. Sebenarnya, pola dakwah yag diterapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari tersebut dipengaruhi berbagai hal, termasuk karena kedalaman ilmu yang ia miliki, pengalaman yang ia dapatkan baik dari lingkungan pada saat belajar maupun pola dakwah yang pernah diterapkan oleh para gurunya.
Sebelumnya, KH. Hasyim Asy’ari adalah sosok Kiai yang memiliki strategi dakwah yang unik. Ia melaksanakan dakwah di lingkungan yang lekat dengan dunia hitam. Tebuireng-lokasi dakwah- yang dijadikan tempat ia berdakwah merupakan daerah yang terkenal sebagai tempat maksiat dan kemungkaran. Praktik seperti merampok, merampas, mencuri, berjudi, berzina dan berkelahi merupakan kebiasaan yang digemari oleh orang-orang Tebuireng sekitar pabrik Cukir. Hal ini menggambarkan sebagaimana dalam sejarah islam seperti gambaran masyarakat Jahiliyyahi pada masa Rasulullaah Saw. yang lekat dengan dunia hitam dan kebiasaan cinta terhadap dunia.
KH. Hasyim Asy’ari sebagai seorang kiai dan alim ulama yang telah lama mempelajari dan mendalami ilmu dan cara pengalaman ajaran agama islam merasa terpanggil jiwanya untuk memperbaiki penduduk desa Tebuireng yang sedang dilanda krisis masyarakat tersebut. Ia memulai dengan mendirikan pondok di lokasi tersebut. Walaupun sebelumnya mendapatkan tanggapan negatif dari keluarga dan teman-temannya, ia tetap bersikukuh melaksanakan dakwah di lokasi tersebut. Ia menjelaskan pendirian dengan ungkapan :
“Mensyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, apa yang akan diperbaiki lagi.daripadanya. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan. Contoh-contoh ini telah ditunjukkan oleh Nabi kita dalam perjuangannya”.
Setelah mendirikan pondok di wilayah Tebuireng dan memulai misi berdakwah di sana, ia tidak serta merta secara mudah menghadapi masyarakat tersebut yang pada mulanya menolak kehadiran pondok dan pengajaran ilmu agama di sana. Ia mendapatkan kecaman-kecaman bahkan teror dari mereka. Sampai akhirnya ia mengorbankan diri untuk belajar bela diri kepada teman-temannya dalam upaya mengamankan pondok dan santri-santrinya dari teror masyarakat yang meresahkan.
Setelah berhasil memberikan keamanan kepada pondok dan santri-santrinya, langkah dakwah KH. Hasyim Asy’ari selanjutnya adalah berusaha agar supaya desa yang telah rusak itu kembali menjadi daerah yang aman dan tentram, kembali kepada tuntunan Tuhan dan cahaya islam. Ia menggunakan strategi dakwah yang pernah diterapkan oleh para gurunya termasuk KH. Sholeh Darat yang juga telah ditunjukkan oleh Rasulullah Saw. dalam berdakwah. Pendekatan dakwah yang ia lakukan adalah dengan da’wah bi al Rahmah, dengan penuh kasih sayang para anggota masyarakat desa Tebuireng ia dekati. Ia tidak mau memberi malu kepada mereka yang mengerjakan sesuatu tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Ia tidak mau membangkitkan kebencian orang, tetapi sesuai kehidupannya yang mistik, ia ingin mendekati mereka dengan penuh rasa cinta. Ia memberikan penerangan kepada mereka melalui cinta dan membangkitkan cinta mereka, karena menurut keyakinannya cinta mereka itu dapat mengubah sikap dan laku mereka ke arah jalan yang benar. Ia juga yakin, pengajaran-pengajaran yang dilakukan atas dasar cinta dan kasih sayang akan mendapatkan posisi yang tepat dan baik bagi kelangsungan dakwah itu sendiri. Bukankah Nabi Muhammad Saw. sendiri pernah memberi contoh bahwa wa’az dan irsyad lebih diutamakan daripada senjata dan kekuatan. Begitu pula dakwah yang bersifat cinta bukanlah lebih diutamakan daripada revolusi yang membabi buta.
KH. Hasyim Asy’ari sebagai seorang yang arif telah mengetahui karakteristik masyarakat Jawa sebagai orang Timur yang mempunyai sifat lemah lembut dan suka mendengar pujian dari pada cacian. Hal ini dijadikan sebagai landasan dalam mensiasati dakwah yang ia jalankan. Ia menggunakan kearifan lokal penduduk Jawa dengan mempertimbangkan karakteristik masyarakat yang sedang diajak menyeru kepada ajaran Islam. Pola ini merupakan pola dakwah yang sama dengan apa yang diterapkan oleh gurunya yaitu KH. Sholeh Darat dalam menyeru kepada ajaran Islam melalui kearifan lokal. Pola yang sama dengan bentuk yang berbeda inilah yang diindikasikan sebagai bentuk pengaruh pemikiran dakwah KH. Sholeh Darat yang melekat pada muridnya, KH. Hasyim Asy’ari.
Dakwah merupakan perilaku mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang disampaikan. Dakwah ada berbagai jenis yang dipandang pula dari berbagai perspektif. Di antara istilah dakwah ada yang dinamakan da’wah bi al hal, da’wah bi al lisan dan juga ada bentuk da’wah bi al maqal. Namun adalah istilah yang sangat melekat dengan pola dakwah yang dilakukan oleh ulama Nusantara ini, yaitu da’wah bil rahmah. Dakwah yang terakhir ini adalah wujud dakwah yang dilaksanakan dengan landasan kasih sayang dan cinta kepada umat. Da’wah bil rahmah ini merupakan dakwah yang sebenarnya telah ditunjukkan oleh Nabi Muhamma Saw. sebelumnya, dan KH. Sholeh Darat serta KH. Hasyim Asy’ari sama-sama menggunakan strategi dakwah tersebut yang diterapkan di pulau Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Sedangkan indikasi pengaruh pemikiran dakwah KH. Sholeh Darat terhadap karakteristik dakwah KH. Hasyim Asy’ari terletak pada pola dakwah yang sama-sama menggunakan pendekatan kearifan lokal. KH. Sholeh Darat menerapkannya dengan menuliskan karyanya menggunakan bahasa Jawa bertuliskan Arab Pegon dan isinya menyesuaikan kebutuhan masyarakat serta tujuan dakwahnya, sedangkan KH. Hasyim Asy’ari juga menerapkan pola dakwah dengan pendekatan cinta yang dibangun melalui interaksi dan komunikasi yang baik kepada masyarakatnya yang saat itu terkenal keduniawiannya dan kekurangan nilai moral, beliau mengacu pada kearifan lokal karakteristik penduduk Timur yang suka terhadap pujian dan benci pada cacian. KH. Hasyim Asy’ari menunjukkan hal tersebut dengan tidak melakukan dakwah secara keras, beliau membiarkan terlebih dahulu kebiasaan buruk masyarakat untuk bisa menarik simpatik, baru setelah itu beliau membuat kagum mereka dengan kesuksesan pesantren yang beliau bangun sehingga masyarakat dengan mudah menerima dakwah sang pendiri Nahdlatul Ulama tersebut.
*Muhammad Syukron Ma’mun
Tulisan ini disampaikan dalam forum Ngaji Sejarah PKPT IPNU IPPNU IPMAFA, Ahad 31/10/2021 via Google Meet.
0 Komentar