Di lapangan sedang diadakan perhelatan musik, para penduduk pun datang beramai-ramai dengan keluarganya. Dan dengan cepat seluruh lapangan penuh dengan penonton. Di lapangan ini Kartini lebih tepat dikatakan hanya seorang peminat musik. Dan terutama sekali musik tradisional. Tetapi Kartini adalah lebih dari seorang peminat, dan gamelan kesukaannya adalah ginonjing.
Kartini dapat menghabiskan waktu berlama-lama menikmati perhelatan musik yang sedang berlangsung, ginonjing ditabuh bertalu-berayun merdu. Dan gamelan ini membawa perasaannya ke dunia yang berbeda, dunia yang begitu halus, yang hanya dapat diselami perasaan yang begitu halus pula. Dalam suratnya kartini berkata:
“Kalau saja aku dapat mengecilkan badanku, sampai dapat merangkak ke dalam sampul, tentulah aku akan pergi dengan surat ini kepadamu, Stella, kepada abangku yang tercinta dan terbaik dan kepada …. Diamlah! Jangan teruskan.
Bukan salahku, Stella, kalau di sana-sini aku menulis beberapa ketololan. Gamelan kaca di pendopo itu dapat bercerita lebih banyak daripadaku. Mereka sedang mainkan lagi kesukaan kami bertiga. Itu lebih tepat bila dikatakan bukan lagu, bukan melodi, hanya nada dan bunyi, begitu lunak begitu lembut bertingkah dan menggetar campur aduk tanpa tujuan, membubung, tetapi betapa mengharukan, betapa mengharukan indahnya! Tidak, tidak, itu bukan bunyi-bunyian dari gelas, atau kuningan, atau kayu yang membubung di sana itu, itu adalah suara yang keluar dari jiwa manusia, yang bicara pada kami itu, sebentar mengeluh-ngeluh, kemudian meratap, dan kadang saja tertawa. Dan jiwaku sendiri melayang bersama dengan gemercik suara peraknya yang suci itu ke atas ke langit biru, ke mega kapas, ke bintang-bintang gemerlap; bunyi-bunyi gong yang dalam membubung ke langit, dan bunyi-bunyian itu membawa aku menyusuri lembah-lembah dan lurah-lurah gelap dan dalam, melewati hutan-hutan yang lengang, menerobosi belantara yang tak tertembusi! Sedang jiwaku gemetar dan meriut ketakutan, kesakitan dan dukacita!
Telah ribuan kali kudengar Ginonjing, tapi tidak ada satu bunyi, tak ada satu nada pun dapat kutangkap. Sekarang setelah gamelan berhenti, tak ada satu pun bunyi yang dapat kuingat, semuanya jadi kabur dalam ingatanku, bunyi-bunyian yang indah-berduka itu, yang membuat aku berbahagia tidak terperi namun begitu sayunya sekaligus. Aku tak dapat dengarkan Ginonjing, tanpa sangat terharu. Sudah pada nada-nada permulaan dari bagian pembukaan itu, aku telah hilang lenyap tenggelam, bila Ginonjing terdengar olehku. Tak mau aku dengarkan lagu yang sayu itu, namun aku harus, harus dengarkan pada suara-suaranya yang berbisik-desah, yang bercerita padaku tentang masa lalu, tentang hari depan, dan seakan nafas suara-suara keperak-perakan yang menggetar itu meniup lenyap tabir yang menutup kegaiban hari depan. Dan sejelas halnya dengan masa kini ber-araklah gambaran-gambaran hari depan di hadapan mata batinku. Maka menggigillah aku, bila nampak olehku gambaran-gambaran sayu-gelap muncul di hadapanku. Tak mau aku melihatnya, tapi mataku itu tinggal terbeliak lebar, dan pada kakiku menganga ke dalam jurang yang terbitkan gamang, tapi kalau kutebarkan pandangku ke atas, terbentanglah di sana langit biru muda di atasku dan cahaya matari yang keemasan bermain-main dengan mega-mega putih dan di dalam hatiku kembali terbit terang.
(Surat, 12 Januari 1900, kepada Estelle Zeehandelaar)
Ginonjing bagi Kartini — seorang yang bukan teorikus ataupun praktikus musik ini, ginonjing bukan saja dianggapnya sebagai bagian sejarah dan seni bangsanya. Arti sebenarnya lebih luas dari itu. Setiap ginonjing yang di tabuh oleh nayuga dapat ia hayati sampai merasuk jauh ke dalam batinnya. Lebih dari siapapun Kartini merasai adanya pukauan daya mistis pada setiap alunan musik tersebut, membawanya menjelajah jauh dalam memahami rimba raya bangsanya. Dan bagi orang seperti Kartini yang nyaris tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, kegelisahan batinnya sendiri tidak pernah dapat lepas dari kecintaannya pada rakyat, pada bangsa, dan pada negerinya. Tulisan-tulisan tentang ginonjing tersebut hanyalah sebuah reaksi dari bentuk lain perasaan cintanya yang besar pada negeri ini.
Adalah suatu hal yang mengagumkan, betapa cara ia mampu menyelami gamelan begitu dalam. Kartini bukan hanya seorang pecinta, tetapi lebih tepat ia adalah seorang pemuja gamelan– “musik sangat berpengaruh kepada kami” (surat, 12 desember 1902, kepada Abendanon). Musik tradisional – maksudnya gamelan– selalu bisa menghadirkan kembali bayangan indah Kartini di masa silam. Dan di dalam sebuah suratnya ia menceritakan;
“Ingatkah kau pada malam tropik sejuk dan cerah, apabila semuanya tenang, dan kesenyapan hanya diganggu oleh derai angin pada tajuk-tajuk kelapa, angin malam yang membawakan padamu harum kemuning, cempaka dan melati ke dalam nafasmu? Nyanyian seorang Jawa, yang menyanyikan cinta, kepahlawanan, keindahan, pria dan wanita yang cantik, bijaksana dan berkuasa, putri-putri dan pangeran-pangeran dari jaman dahulu kala? Menyanyi buat keluarga dan para tetangganya? Semua buku kami tertulis dalam syair dan dibaca dengan nyanyi. Maka adalah jam-jam yang paling manis, kalau seorang Jawa, setelah menyelesaikan pekerjaannya sehari-hari, melepaskan lelah dalam nyanyi, dan seluruh kesulitannya pun lenyaplah di dalamnya, merasuklah ia ke dalam masa lalu yang gilang-gemilang, ke jaman yang ia nyanyikan. "Rakyat Jawa adalah Rakyat yang hidup dalam kenang-kenangan," kata seorang sahabat muda dengan tepatnya. "Maka adalah indahnya bagi mereka hilang tenggelam di dalam mimpi-jiwa tidur berabad mereka."
( Surat, 20 Agustus 1902, kepada Nyonya Nelly Van Kol)
Tidaklah mungkin tanpa kecintaan pada musik gamelan seseorang dapat mendalaminya sedemikian rupa. Tapi di lapangan itu Kartini merasai ada kekurangan. Ia masih belum dapat menyampaikan semua kenikmatan yang di rasakan pada orang yang tidak mengenal gamelan. Rasanya ia ingin sekali berbagi pemahaman dan berbagi perasaan dengan orang-orang di sekelilingnya, terlebih lagi pada rakyat yang sangat ia cintai. Namun hal itu pasti menjadi sulit karena kurangnya alat-alat untuk menerangkan. Istilah-istilah musik zaman itu belumlah berkembang seperti sekarang ini. Dengan istilah yang terbatas tentu tidak mudah untuk menerangkan apa yang di kehendakinya.
Seorang Eropa yang sudah 20 tahun lamanya bekerja menghimpun seni rakyat pribumi dalam berbagai bentuk, termasuk kekawinan (sastra kuno jawa) dan pantun. Pada suatu pertemuan, ia menceritakan maksud dan keinginannya untuk mengembangkan kajian musik jawa dan musik gamelan. Maka Kartini menyambut keinginan tersebut dengan antusias dan berusaha untuk membantu. Sekalipun ia sadari benar chord dan nada-nada gamelan itu luar biasa sangat sulit...
Musik tradisional jawa selalu membawa ingatan Kartini pada masa silam. Memahami lagi ke dalam makna musik gamelan secara filosofis yang bercerita tentang sejarah bangsanya. Baginya alunan musik tradisional adalah sejarah itu sendiri, hanya saja di lewatkan melalui bunyi dan nada gamelan. Dengan kata lain ia hendak mengatakan, bahwa rakyat dahulu pernah punya sejarah yang gilang-gemilang. Dan rakyat kini lebih suka menenggelamkan diri dalam impian masa lalu yang gilang-gemilang, daripada harus di paksa untuk merasai kepahitan dan kemerosotan masa kini. Tetapi bagaimanapun indahnya impian itu, bagaimana nikmatnya impian itu... Impian tinggalah impian. Orang harus membuatnya lebih indah, lebih nikmat, dengan mencoba membuatnya menjadi kenyataan.
Dan sampai sini orang akan mengerti bahwa Kartini telah sampai pada pemahaman kemurnian seni dan kekurangan manusia. Seniman tidak selamanya seindah dan semurni yang dikaryakannya baik di bidang seni ukir, tarian dan nyanyian. Seni bersifat artistik dan filosofis yang selamanya konstan. Perbedaannya manusia adalah certainly factor yang berubah dari keadaan dan pengetahuannya. Kartini menghargai mereka karena karya seninya secara langsung ikut memuliakan dan mengangkat prestise bangsanya diantara bangsa-bangsa di dunia.
Sumber : Pramoedya Ananta Toer, Panggil aku Kartini saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2007.
0 Komentar