STUDIUM
GENERALE: Literasi Rendah, Jadi Tantangan Dalam Membentuk Identitas Koletif
Generasi Z
IPMAFA
– Musuh kita saat ini adalah kemiskinan, kebodohan, dan kebijakan yang
tidak berpihak pada mahasiswa, serta berbagai macam aspirasi yang berbeda-beda
saat ini, oleh karena itu kita sebagai mahasiswa harus mampu mengidentifikasi
masalah yang sedang terjadi saat ini. Dengan mengangkat nilai-nilai pesantren
diharapkan dapat membasmi hal tersebut.
Sepenggal
sambutan yang disampaikan oleh wakil rektor I Institut Pesantren Matholi’ul
Falah, Ahmad Dimyati dalam kuliah umum atau Studium Generale dengan tema
“Diversity In Unity: membentuk identitas kolektif mahasiswa berdasarkan
nilai-nilai pesantren, yang dilaksanakan di auditorium I IPMAFA,
Rabu (21/09/2019).
Mengingat
kebudayaan yang lalu tidak sama dengan kebudayaan saat ini, tentu tantangan
mahasiswa dan santri juga berubah. Tantangan ini menjadi tantangan yang berat
dan harus dihadapi. “Tantangan mahasiswa, santri, dan pesantren-pesantren
disegala institusi adalah image, bahwa Islam terpilih dengan violence, budaya
literasi rendah, meningkatkan kesejahteraan sosial, serta makanan hidup dan
pendapatan”, ujar Dr. Tedi Kholiludin, M, SI., Pakar Sosiologi Agama dan
Aktivis Toleransi Beragama selaku narasumber.
Dari
salah satu sumber yang dikutip oleh narasumber dalam menyampaikan materi, bahwa
2015 ada assessment siswa kelas 3 SMP dan kelas X SMA yang diberi soal mengenai
3 mata pelajaran yaitu Matematika, Sains, dan Membaca (Reading), posisi
Indonesia di ASEAN ada dinomor 7 dari bawah. Tingkat literasi di Indonesia ada
di urutan 64 dari 65. Posisi Indonesia dalam index pembangunan manusia
dikategori sedang, ada direngking 116, dan PerpusNas telah memvalidasi bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah, sekitar 0,001
dari 1.000 orang.
“Jika minat literasi di Indonesia rendah
bagaimana kita bisa menghadapi hoax?” tambah beliau.
Selanjutnya,
beliau menegaskan bahwa kota santri harus tetap dijaga karena itu yang akan
membentuk identitas koletif mahasiswa. Menurut survey yang beliau kutip, 93% bahkan
lebih generasi Z merasa bahwa agama itu menjadi faktor penting untuk membuat
dia bahagia, merasa bebas dari rasa cemas, bebas tidak dibuly, dan lain-lain.
“Pesantren
harus menjadi partisipan aktif dalam proses menawarkan produk yang relevan
dengan situasi yang kekinian namun tidak jauh dari alam fikir generasi Z.
Karena kemasan dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu belum tentu menarik
untuk anak sekarang meskipun ada yang serupa kontennya atau substansinya tentu
saja tidak dengan isinya”, ucap Tedi.
Selain
itu, beliau juga menyampaikan bahwa ada 3 cara untuk membentuk kolektif
mahasiswa berbasis nilai-nilai pesantren, yang pertama adalah mempertahankan
collective memory, kedua ritual, seperti sholawat dan seterusnya untuk
mengingatkan bahwa itu adalah tradisinya,
yang terakhir adalah simbol-simbol tertentu yang membentuk identitas
kolektif.
Diacara
ini poin terakhir yang disampaikan oleh beliau adalah ada tiga tanggung jawab
mahasiswa dan santri, yaitu tanggung jawab akademik, tanggung jawab sosial, dan
tanggung jawab moral.
(ima)



0 Komentar